Mohon tunggu...
Ayu SittaDamayanti
Ayu SittaDamayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Ingin jadi manusia baik

_Berbagi Memori dalam Tulisan _

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kematian dalam Keramaian

18 Juli 2022   23:55 Diperbarui: 19 Juli 2022   00:20 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rahman anak kelas 1 SD, riang bukan kepalang.  Hari ni adalah hari pertamanya masuk sekolah. Ia bersekolah di sebuah SD Negeri di daerah Cibubur. Pukul 06.15 pagi ia sudah rapih dengan seragam merah putih lengkap dengan dasi dan topinya. Sepatu  dan tas baru yang tampak berkilau meski tak bermerk. 

Buah perjuangan ayahnya yang berprofesi sebagai pengemudi ojek on line dan ibunya yang seorang ibu rumah tangga biasa dan  juga berprofesi sebagai pedagang nasi uduk di depan rumah kontrakan mereka. 

Hari yang spesial bagi Rahman, oleh kedua orang tuanya ia diantar ke sekolah yang merupakan anak tangga pertamanya  menuju cita-citanya menjadi menteri perhubungan. Ia suka dengan semua alat transportasi dari delman hingga pesawat. 

Mungkin karena ia terbiasa melihat ayahnya yang berjibaku membelah jalanan padat dengan motor kreditannya. "Sekolah yang rajin ya nak, bapak dan mamah doakan jadi anak soleh, sukses dunia akhirat", ucap sang ayah ketika Rahman hendak masuk ke kelas. Diciumnya tangan kedua orang tuanya. Hari yg ceria, suasana baru,bertemu guru dan kawan baru.

Bel berbunyi tanda jam kepulangan tiba. Rahman, menggendong tas punggungnya yang bergambar spiderman sembari menghambur ke arah sang ayah yang sudah menunggu di sepeda motor ojek on line nya. Pulanglah mereka menuju rumah kontrakan. Sepanjang jalan menyusuri padatnya jalanan, Rahman tak henti-hentinya berceloteh tentang keseruan hari ini kepada sang ayah.

Bahkan setibanya mereka dirumah  hingga ketika makan siang bersama dengan menu lauk spesial berupa semur daging sisa pembagian kurban Idul Adha kemarin, belum habis cerita Rahman tentang sekolahnya.

Siang yang terasa hangat, bukan karena cuaca yang sedang terang, bukan pula karena kipas angin tua yang mulai menandakan ingin pensiun dari tugasnya tetapi kehangatan itu muncul dari harapan orang tua menjadikan anaknya sukses lewat jalur pendidikan berpadu dengan rasa riangnya sang anak dengan sekolah baru beserta peralatan sekolah  yang dibelikan Ayah Ibunya. 

"Nanti pulang ngojek, Ayah belikan pizza ya untuk hadiah anak ayah yang pemberani masuk sekolah tanpa ditungguin" Binar mata bahagia terpancar dari mata Rahman mendengar kata pizza. Maklum, baginya pizza adalah makanan mewah yang hanya bisa ia nikmati mungkin setahun sekali.

Selepas sholat dzuhur, sang ayah kembali berpamitan guna berkeliling sembari menunggu pesanan on line.

Rahman  yang kini telah mahir membaca tulisan yang tertera di jaket ojek on line milik ayahnya mengantar kepergian sang ayah sembari menatap punggung ayahnya hingga berlalu dari pandangnnya.

------
Bergegas Rahman pergi tidur siang, dalam mimpinya ia melihat sekotak pizza ada di meja kayu tua  tanpa kursi yang berfungsi sebagai meja makan. "Ayah, Terima kasih pizza nya" Teriaknya kepada sang ayah yang hanya terlihat punggungnya tengah menuju pintu keluar rumah kontrakan mereka. "Ayaaaah.. " Rahman berteriak terbangun dari tidur siangnya. 

Terdengar suara riuh dari depan rumahnya, bergegas ia menuju sumber suara dan ia melihat sang ibu sudah tak sadarkan diri tengah dikelilingi banyak tetangganya. "Mamah... " Teriaknya berlari kearah kerumunan. Bu Minah yang merupakan tetangga dekatnya memeluk tubuh kecilnya. "Sabar yo le" Ucapnya dengan logat jawa kental. 

Ia menangis sesenggukan, membuat Rahman semakin kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Sang Ibu siuman, yang pertama ia lihat adalah wajah anak semata wayangnya. Dengan sisa ketegaran & kekuatannya dipeluknya tubuh kecil Rahman. "Ayahmu, sudah meninggal kecelakaan di jalan raya Cibubur tadi, nak. 

Katanya kecelakaan beruntun dan banyak yg meninggal, termasuk ayahmu. " Ingin rasanya Rahman menjerit namun suaranya tak mampu keluar dari mulutnya, air mata pun sulit menetes, hanya dadanya yang pedih dan terasa sesak. Hingga beberapa menit kemudian barulah tumpah segala tangis pilunya dalam dekapan sang Ibu yang sangat jelas berusaha ingin terlihat kuat untuk anak laki-lakinya ini.


Pukul 9 malam, sirene ambulans berbunyi menambah rasa sesak di dada Rahman dan ibunya. Aroma pilu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Rahman dan ibunya. Banyak orang berkerumun berebut dan saling dorong dengan mengangkat tinggi kamera telepon genggam mereka, bahkan ada yang tampak sedang siaran langsung di media sosialnya. 

Rahman tak mengerti, kenapa mereka lupa ada hati yang tengah remuk, tak bisakah mereka berlomba menghibur dan menguatkan kepingan lukanya dan ibunya. Susah payah, para petugas dan tetangga baik hati memasukkan peti jenazah sang ayah kedalam rumah.

Rahman menatap peti mati yang telah rapih dengan bungkus kain hijau bertuliskan lafadz Allah, masuk keruang tamu yg merangkap sebagai ruang keluarga dan juga ruang makan. 

Tangannya digenggam erat sang Ibu, perlahan melangkah menghampiri jasad sang Ayah. Ia jatuh terduduk bersama sang Ibu, tak percaya tanpa pesan perpisahan, sang kepala keluarga meninggalkan mereka berdua. Pikirannya kosong, hingga dari arah belakang, seorang bapak-bapak berseragam polisi memegang pundak Rahman menyadarkan dirinya. 

Rahman menoleh, dan terlihat tangan laki-laki itu  menggenggam kantung kresek bertuliskan merk pizza yang tadi dijanjikan ayahnya. "Ini, digenggam erat ditangan ayahmu ketika kami mengevakuasi tubuh ayahmu." Rahman dan sang Ibu semakin lemas, dunia mereka seakan runtuh.  

Betapa hebatnya sang Ayah bagi Rahman, dari awal hingga akhir hayatnya seluruh hidupnya adalah untuk tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. "Pak, sudah kuterima janji terakhirmu sebelum pergi." Pandangannya seketika putih berkabut, suara bising kendaraan yang biasa ia lalui di jalanan bersama sang ayah memenuhi telinganya dan lalu tiba-tiba sunyi. Begitulah kematian datang menyapa dari keramaian jalanan meninggalkan kesunyian dilorong sempit yang bernama kehilangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun