Ia meruapakan salah satu saydaraku. Yoga menjadi temanku dari SD, SMP, hingga SMA. Kami pernah berjanji untuk menikah suatu hari nanti saat kami sama-sama sudah siap. Tapi sekarang janji tinggallah janji. Hanya aku yang menjadi wanita bodoh yang percaya dengan ucapan buaya.
12 tahun kenal ku pikir bisa menjadi acuanku untuk mempercayainya. Semua Cuma omongkosong belaka. Saat ini telah mapan ia malah mempersunting kawan sekelasku saat aku SMA. Aku mengenal calonnya. Ah salah, bukan calon tetapi istrinya.
Aku dan istrinya memang tidak pernah aku. Kami sama-sama memperebutkan prestasi ketika SMA. Aku dan Yoga bukan seoarang yang bisasa saja ketika SMA. Aku sebegai siswa pintar dan Yoga sebagai salah satu siswa laki-laki yang kaya dan disukai oleh sebagian besar siswa perempuan.
Entah dari mana datangnya angin, hujan dan petir hingga kabar dan batee ( adat Aceh yaitu alat yang dibawa oleh orang yang datang untuk mengundang orang lain ke pesta dirumahnya) datang secara bersamaan. Aku dan Yoga masih sangat dekat persaudaraannya. Ia masih bisa menjadi wali nikah bagiku. Hal ininya yang menyebabkan aku tidak mungkin jika tidak menghari pestanya. Apalagi kami tinggal di desa yang sama.
"yok El, kita pergi ke tempat Maknyak. Males kali ana melihat buaya ini" ucapat Fitri sengit sambil menarik tanganku.
"maaf" ucap Yoga. Aku hanya melihat gerakan bibirnya bukan suaranya langsung.
Aku hanya membalas senyuman atas permintaan maafnya. Entahlah, aku masih berat untuk memaafkannya. Hatiku masih belum terima dengan apa yang terjadi.
"sebel banget sama Yoga. Dia berani ninggalin berlian demi batu kali. Mana hari akad gak ngundang lagi. Mungkin di Mi-miong (sebutan Fitri untuk istri Yoga) itu taku batal nikahannya kalau El datang" cerocos Fitri.
Kami duduk dekat pelaminan sambil melibat serbet untuk tetamu.
"waktu itu ana kan jadi malu datang sendiri mana Akhas gak mau datang lagi"
"jadi Fitri dapat undangannya?"