“Apa aku harus benar-benar menjawabnya?” tanyaku lagi. Aku semakin sesak. Kapan ini akan berakhir? Aku jenggah dengan suasana seperti ini. Kau, bertanyalah sekali lagi -apakah aku rindu. Maka aku akan benar-benar menjawabnya dengan mataku.
“Ya. Jawablah! Apakah kau rindu?” Dan kau tetap sabar. Mengulang pertanyaan retorismu.
Aku menoleh. Ini adalah untuk pertama kalinya aku menatap wajahmu dengan mataku terbukan lebar, sejak kepulanganmu, sejak kita berjumpa di sini, lebih dari setengah jam yang lalu, berbicara tentang rindu.
“Tidak. Sama sekali tidak.” Itu adalah jawaban mulutku. Kau ingin tahu yang sebenarnya? Lihat! Mataku berbicara bahwa aku rindu. Kau bisa menerjemahkan arti tatapan ini kan?
“tentu saja tidak” dengan sinis kau mepertegas jawabanku.
Astaga.. kau tak bisa membacanya? Bodoh sekali aku. Mana mungkin kau bisa menangkap isyarat hatiku. Aku lupa, kau sama sekali tidak peka.
Jangan tundukan kepalamu! Tanyakan sekali lagi. Aku mohon, benar-benar hanya sekali lagi.. tanyakan apakah aku rindu.
“baiklah, aku akan pergi lagi pekan depan. Semoga kau benar-benar tak merinduanku.” Ini adalah kalimat terakhir. Penutup pembicaraan kita yang canggung. Kau pergi. Meninggalkan tempat dudukmu –dan aku- dan melangkah gontai di atas jalannan aspal yang semakin lembab dan basah karena gerimis kembali turun.
Aku tetap bergeming, sibuk menyalahkan kekeraskepalaan dan egoku. Kenapa tak kukatakan saja aku rindu? Aku bodoh. Bodoh sekali. Bahkan untuk menyesalpun aku tak berani, karena itu akan membuatku semakin bodoh.
*kau pergi. Aku menatap punggung mu yang terus berlalu pergi dengan sudut mataku yang kini basah, bukan karena gerimis, tapi karena air mata kebodohanku yang tak mampu berkata ‘aku rindu’.
Hohoho latihan menuangkan galau, kurang lebihnya saya mohon maaf :p