Distingsi Memaksa Tingkat 'Luxury' yang SamaÂ
Distingsi merupakan jarak sosial yang diakibatkan oleh pilihan selera. Misalnya, konstruksi suatu kelompok atas musik dangdut sebagai low culture (budaya rendah), secara langsung akan berimplikasi pada penilaian kelompok tersebut. Terhadap mereka yang menggemari musik dangdut sebagai 'kampungan' atau 'orang desa'.Â
Demikian pula pada musik jazz semisal, mereka yang mengonstruksinya sebagai high culture (budaya tinggi), berimplikasi pula pada penilaiannya, bahwa para penggemar musik jazz merupakan orang-orang yang berkelas.
Seperti satu cerita, seorang gadis yang mengunggah sebuah video unboxing tas baru bermerk Charles and Keith dengan diberi judul "my first luxury bag" ramai di jagat maya.Â
Dari sekian banyak komentar, ada satu komentar tertuliskan "who's gonna tell her?" yang mengisyaratkan bahwa brand Charles and Keith yang dibeli gadis bernama Zoe itu bukanlah luxury brand.Â
Sampai akhirnya, Zoe mengunggah video untuk membalas komentar tersebut. Bagi Zoe, tas itu adalah tas bermerk termewah yang pertama kali ia miliki dengan harga $80 atau senilai 1,2 juta rupiah. Ia juga menyampaikan dengan isak tangis, bahwa bagi Zoe dan keluarga harga tas itu tidaklah murah. Zoe juga menyinggung perihal ayahnya yang mengumpulkan uang itu dengan susah payah.
Peristiwa yang dialami Zoe adalah contoh dari Distingsi dan menyangsikan bahwa kebenaran dalam medium memang dikonstruk. Media sosial kini memang tempat untuk menunjukkan strata sosial setiap penggunanya. Maka, tidak heran jika standar "kemehawan" memang terbentuk dalam media sosial untuk dipertontonkan. Jika yang ditunjukkan tidak memenuhi standar yang ada, maka akan dipertanyakan oleh para pengguna dengan tidak lain adalah menunjukkan level mewah yang sebenarnya.
Â
Kebiasaan Kapitalis menyebarkan Sampah VisualÂ
Sampah visual merupakan kebiasaan akut para kapitalis yang gencar memasarkan produk-produknya melalui berbagai spanduk berikut banner di pinggiran jalan yang justru mendistorsi alam pikiran kita.Â
Misalkan, saat kita berjalan di depan gerai sebuah brand mahal yang menampilkan produk keluaran terbarunya. Kita tertarik membeli, namun harga yang dipasang tidaklah cocok dengan kita. Kemudian, kita berpikir bahwa "betapa miskinnya saya" hingga tidak dapat membeli produk tersebut. Ini sejalan dengan pemikiran bahwa lebih baik membeli barang yang dilabeli diskon ketimbang harga normal.