Bagaimanapun juga, syair lagu ini juga menampakkan kepada kita akan sesosok manusia dengan tekad yang bulat. Sekali melangkah, pantang menoleh ke belakang, begitu mungkin istilahnya. Lihat saja dua baris pertamanya, "Meskipun berat mesti ku lakukan/Ku pilih jalan yang ku yakini" dan juga tiga baris pertama pada refrain: "Tlah ku pilih jalanku sendiri/Dalam prinsip kehidupanku/Meski tak selalu akan indah", itu semua menunjukkan tekad yang kuat dan siap mengambil semua resiko untuk bisa mencapai "Roma"-nya, yang dengan penuh keyakinan ia jalani. Perlu diingat, lagu ini diciptakan pada waktu SBY sudah menjadi seorang Presiden, profesi yang banyak dicita-citakan anak TK. Jika kursi kepresidenan belumlah "sana", lantas di manakah itu? Kabarnya sih, menjadi Sekjen PBB adalah cita-citanya.
Sudut pandang etika
Bagaimana dengan sudut pandang etika? Etiskah lagu ini dikumandangkan dalam sebuah upacara kenegaraan? Saya terpaksa harus menjawab: tidak. Kalimat demi kalimat di dalam syair lagu ini sama sekali tidak menunjukkan nilai-nilai kebangsaan. Mungkin ada yang berargumen, bahwa "aku" yang "yakin sampai di sana" itu merujuk pada bangsa kita, namun itu argumen yang sangat lemah. Syair lagu ini sangat personal, tidak ada unsur kolektifnya. Bisa saja dipaksakan penafsiran itu, namun sangat tersirat dan sulit diparafrasekan secara gamblang. Kalau "aku" adalah bangsa kita, lalu siapakah "engkau" di dalam lagu ini?
SBY semestinya bisa menahan diri dalam upayanya untuk mempopulerkan lagunya itu. Ada banyak event yang bisa dipakai selain upacara kenegaraan. Lagipula, bukankah baru-baru ini ia mengadakan konser di tempat bu Hartati di Kemayoran--meski sang Nyonya Rumah sedang tidak di tempat karena harus meringkuk di tahanan KPK?
Tapi itu menurut saya lho. Bagaimana menurut anda?
Ikuti pemikiran saya di Twitter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H