Dalam prinsip kehidupanku
Meski tak selalu akan indah
Aku yakin sampai di sana
Jujur saja, saya harus berpikir berulangkali sebelum akhirnya memantapkan diri untuk mendengarkan lagu ini. Dan, jika bukan karena ada "ontran-ontran" (bhs. Jawa: kehebohan) ini, saya mungkin takkan terpikir untuk menelusuri syair lagu ini, yang ternyata tak hanya satu versi.
Pertama, saya ingin membahas lagu ini dari sudut pandang estetika, alias keindahan. Tentu saja dari sudut pandang saya, seorang awam yang kebetulan suka bermusik dan menciptakan lagu, hehehe.
Dari segi persajakan, keseluruhan lagu ini nampak tak bersajak. Saya termasuk orang yang percaya bahwa keindahan sebuah lagu salah satunya berasal dari persajakannya. Sebelum "ditaburi" musik, lagu pada dasarnya adalah bait-bait puisi yang terdengar nikmat di telinga karena rimanya. Lagu-lagu Ebiet, Ahmad Dhani, atau Guruh menurut saya sangat kuat di bagian ini.
Lalu, dari segi logika komunikasi. Sejauh yang saya tangkap, lagu ini sepertinya arah komunikasinya langsung, antara "aku" dan "engkau". Akan tetapi, ada kerancuan logika di sana. Di bait pertama, "aku" seolah-olah berkata kepada seseorang ("engkau") bahwa "aku" tak bisa dipaksa untuk memilih jalan yang diyakini. Namun di bait kedua, "aku" justru berkata bahwa dengan adanya seribu jalan menuju Roma dan ketidakpastian mana yang paling baik, "engkau"lah yang akan menentukan. Kecuali si "aku" hendak mengajarkan "engkau" mengenai pilihan hidup, syair itu justru kontra-produktif dengan kengototan "aku" untuk memilih jalannya sendiri.
Kata-kata yang kita ucap/tuliskan akan selalu mewakili keberadaan kita, termasuk kepribadian kita. Menarik sekali, kita punya seorang pemimpin yang suka mempublikasikan sisi humanisnya lewat lagu. Maksud saya, tentu pidato kenegaraan yang meninabobokkan salah satunya juga mewakili sisi kepribadian SBY, namun tidak semua, karena toh, pidato politik akan mewakili kepentingan politis dari orang-orang atau lembaga yang diwakili, yang belum tentu disetujui pembaca pidato jauh di lubuk hati. Tentunya tidak ada juru tulis istana yang ikut merangkai syair lagu ini kan? Dengan demikian, bolehlah saya katakan, bahwa "unsur kepribadian SBY" sangat dominan dalam lagu ini.
Hmmm... kalau membaca syair "lagu istana" ini dengan seksama, kita bisa memaklumi sikap SBY yang peragu dan nampak ingin merangkul semua pihak. Hal itu tersirat dalam baris kata-kata "S'ribu jalan menuju Roma/Entah mana yang paling baik/Ada begitu banyak pilihan". Di sisi lain, kita juga bisa mahfum dengan sikapnya yang "tidak mau didikte", alias anti-kritik. Konon, dalam sebuah jamuan para jenderal yang diadakannya, SBY mengemukakan bahwa karena ia sudah menjadi presiden, maka ia berharap untuk tidak digurui. Mungkin ia jengah dengan kolega sesama jenderal yang melontarkan ide-ide pemerintahan kepadanya, atau bahkan mungkin menegurnya. "Ku pilih jalan yang ku yakini/Jangan paksakan yang takkan mungkin", begitu ungkap orang nomor satu di negeri ini itu.