Mohon tunggu...
Ayu RatnaAgamis
Ayu RatnaAgamis Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Mahasiswa

Semangat untuk menjadi Sarjana. Karena pendidikan itu penting.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Marketing untuk Masa Depan

5 Juli 2023   19:54 Diperbarui: 5 Juli 2023   19:58 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Pinterest VectorStock

Halo teman-teman. Semoga kalian sehat selalu ya dimanapun kalian berada!

Temen temen kadang pernah gak sih malas baca buku di era digital ini yang apa apa gadget, dikit dikit gadget karena hampir semua kepentingan ada di gadget dan internet kuncinya. Kali ini aku mau bocorin ke kalian lewat jalur digital sedikit rangkuman tentang buku "Marketing 2030, Menuju SDGs, Gen Z, dan Metaverse" dibaca yukk, dijamin sukses hihihi.

1. Teknologi adalah yang Pertama

Melihat dunia saat ini yang bergerak begitu cepat dengan penuh ketidakpastian, saya kerap menggunakan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) (Kartajaya & Mussry, 2017). Pada dasarnya, VUCA in mewakili karakteristik dari elemen-elemen yang ada dalam lingkungan bisnis.

Sedikit meninjau, ada empat elemen dalam lingkungan bisnis yang perlu di perhatikan, yaitu change, competitor, customer, dan company. Nah agar mudah dingat, elemen ini dapat di sebut sebagai 4C. Volatility dalam VUCA adalah karakteristik dari elemen change (perubahan). Artinya, perubahan adalah sesuatu yang cepat, tidak stabil, dengan durasi yang sulit untuk ditebak (volatile).
Dari begitu banyaknya perubahan yang terjadi dalam lingkungan bisnis Anda, perubahan-perubahan tersebut dapat dikategorikan menjadi lima penggerak perubahan. Lima penggerak perubahan yang kami sebut sebagai drivers of change ini adalah: 1) technology-science; 2) political-legal; 3) economy-business; 4) social-culture; dan 5) market-industry.

Drivers of change yang akan di sorot pada artikel ini adalah interaksi antara driver technology-science dengan driver market-industry. Sebagai pertanyaan pemicu: Benarkah teknologi memengaruhi pergerakan pasar atau justru sebaliknya?
Ada dua cara untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, pasarlah yang memengaruhi teknologi karena teknologi sesungguhnya ada untuk memenuhi kebutuhan pasar (market-driven). Di sisi lain, jawaban yang kedua, yakni teknologilah yang memengaruhi pasar karena teknologi membuka peluang pasar baru (market-driving).


Menuju tahun 2030, saya melihat adanya pergeseran dari orientasi market-driven ke market-driving dalam menciptakan manfaat (value) bagi customer. Perubahan pada teknologi mengubah struktur ekonomi suatu negara dan otomatis menghasilkan perubahan pada pasar, bukan sebaliknya. Kalau Anda tidak mengikuti teknologi, besar risikonya Anda akan gagal dalam menciptakan value baru bagi customer lho!

2. Strategi Pemasaran

Orang pemasaran tentu familiar dengan istilah segmentasi. Segmentsi memang menjadi elemen penting, sekaligus dasar dalam ilmu pemasaran. Ibarat ilmu bela diri, segmentation merupakan salah satu elemen dari "kuda-kuda" pemasaran di samping targeting dan positioning. Ketiganya membentuk fondasi strategi bagi sebuah perusahaan untuk memenangkan mind share.


Secara umum, segmentasi dipahami sebagai cara perusahaan memandang pasar secara kreatif. Segmentasi menjadi sebuah strategi pemetaan pada pasar berdasarkan kelompok-kelompok pelanggan potensial yang memiliki kemiripan karakteristik maupun perilaku.
Namun, gelombang horizontalisasi yang didorong oleh perkembangan internet telah merubah elemen strategi marketing tersebut. Pasar semakin horizontal yang ditandai dengan relasi yang sejajar antara perusahaan atau brand dengan konsumen. Perubahan perilaku konsumen yang didorong oleh teknologi digital menuntut perusahaan menjalankan bisnis dengan pendekatan baru. Dalam dunia pemasaran yang horizontal, Segmentation telah bergeser ke O-Communitization, targeting bergeser ke 0-Confirmation, dan positioning ke 0-Clarification.


Nah, apa sih makna huruf "O" yang ada di awal kata communitization? confirmation dan clarification? Itu adalah kepanjangan dari OMNI. Artnya, perpaduan antara offline dan online. Di tahun 2030 nanti, saya percaya bahwa perusahaan harus bisa mengintegrasikan keduanya, tidak bisa hanya main digital-digitalan saja.

Dari pengertian segmentasi dan komunitisasi tersebut, tampak bahwa yang terjadi dalam segmentasi adalah high-budget high-impact marketing, sedangkan dalam komunitisasi yang terjadi adalah low-budget high-impact marketing. Alasan mengapa sih segmentasi tergolong mahal? adalah karena perusahaan harus lebih dulu melakukan riset pasar atau membeli laporan riset pasar dari lembaga riset yang harganya biasanya tidak murah. Dalam segmentasi, biasanya juga tidak ada yang "merawat" karena antar anggotanya bisa tidak saling kenal dan tak peduli. Sementara, dalam komunitisasi, perusahaan cukup mengindentifikasi komunitas yang sudah ada. Baru bila tidak ada komunitas yang cocok, perusahaan bisa memelopori terbangunnya komunitas tersebut.

Komunitas akan cenderung lebih awet karena masing-masing anggota saling menjaga dan peduli lho. Kalau sudah begini, perusahaan tinggal melakukan fasilitasi agar komunitas tetap interaktif dan semakin bermakna bagi para anggotanya. Melalui komunitas, perusahaan bisa dengan mudah berinteraksi dan menyampaikan informasi kepada seluruh anggota komunitas.
Komunikasinya tidak bersifat vertikal, tetapi bersifat horizontal dalam bentuk percakapan. Pesan yang disampaikan bisa berlipat ganda karena adanya interaksi dalam komunitas. Bahkan, karena biasanya anggota komunitas tersebut juga menjadi anggota komunitas lain, tidak tertutup kemungkinan pesan atau informasi juga akan tersebar lintas komunitas. Kalau sudah teriadi interaksi antarjaringan, nilai tersebut akan semakin jauh berlipat ganda.

Meskipun di era digital, komunitisasi tersebut tidak melulu dibangun di kanal-kanal online. Komunitisasi tetap bisa dibangun secara offline. Bahkan, komunitisasi akan menjadi semakin intensif dan berdampak ketika dibangun secara omni atau mengintegrasikan interaksi online dan offline. Untuk merawat komunitas ini pun dibutuhkan cara-cara baru yang berbeda dengan saat perusahaan melakukan segmentasi. Mengacu pada buku Groundwell yang ditulis oleh dua analis dari Forrester Research, Charlene Li dan Josh Bernoff, komunitisasi bisa dikelola dengan beberapa cara, yakni mendengarkan apa saja yang dibicarakan dalam komunitas (listening), membangun percakapan dengan mereka (tolking), membantu anggota komunitas (helping), memberdayakan mereka (energizing), dan merangkulnya (embracing).

Jenis-Jenis Komunitas
Dalam komunitisasi, pemasar perlu memahami model-model umum komunitas yang akan dibentuk. Menurut profesor pemasaran Susan Fournier, ada tiga bentuk afiliasi komunitas, yakni pools, hubs, dan webs.

- Pools
Bentuk pools merupakan komunitas yang paling organik dan natural.
Bisa dibilang, tapa perlu dibentuk, mereka sudah menjadi komunitas tersendiri. Mereka berkumpul membentuk komunitas karena memiliki kesamaan nilai-nilai, minat, maupun aktivitas. Mereka juga bisa terbentuk karena faktor kesamaan pilihan produk atau brand. Namun, relasi di antara mereka tergolong lemah dan cenderung sporadis. Artinya, mereka berkumpul namun tidak memiliki ikatan yang kuat satu sama lain. Misalnya, komunitas pengguna Macbook. Mereka berkumpul, termasuk dalam jejaring sosial, sebagai peserta pengguna produk Apple tersebut. Mereka berinteraksi sebatas saling memberi informasi seputar produk, dari toko, tempat servis, hingga jual beli di antara mereka. Di sisi ekstrem, ada faktor pooling yang sama di antara mereka, yakni sama-sama anti terhadap produk Microsoft yang merupakan kompetitor Apple.

- Hubs
Komunitas tipe kedua adalah hubs. Komunitas ini biasanya terbentuk lantaran kekaguman anggotanya kepada individu atau kelompok tertentu. Komunitas penggemar grup band tertentu tau selebriti atau tokoh publik tertentu termasuk dalam tipe ini. Misalnya, komunitas penggemar musik populer Korea Selatan atau K-Pop atau fans dari Jerome Polin, seorang You Tuber, kreator konten, sekaligus entrepreneur muda sat ini. Contoh lainnya, adalah komunitas pengemar berat klub bola Manchester United, Real Madrid, atau A.C. Milan.


Kelemahan tipe ini adalah ketergantungan mereka pada sosok perekat tersebut. Artinya, keterikatan anggota komunitas terletak pada daya magnetik dari ikon tersebut. Akibatnya, bila suatu sat sosok yang menjadi kekuatan magnetik itu meredup atau tidak ada lagi, relasi anggota komunitas akan renggang dan bahkan bisa bubar. Mereka akan kembali ke komunitas mereka masing-masing yang sporadis seperti dalam tipe pools. Artinya, perusahaan yang menyasar hubs, untuk menjaga komunitas tetap kuat, harus menjaga pamor para ikon tersebut.

- Webs
Komunitas ketiga adalah webs. Hal ini juga merupakan bentuk komunitas yang paling kuat dan stabil ya teman teman, di mana para anggotanya memiliki hubungan yang cukup erat satu sama lain. Relasi dan komunikasi antaranggota komunitas terbilang intensif. Komunitas model in bisa terbangun secara offline maupun online.

Munculnya platform jejaring sosial, seperti Meta (Facebook) dan LinkedIn, maupun grup pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram, merupakan contoh komunitas webs secara online. SAP, sebuah perusahaan peranti lunak multinasional, sukses membentuk komunitas online yang memfasilitasi interaksi antara pengguna dari berbagai negara. Para anggota komunitas ini bergabung secara sukarela dengan misi sosial tertentu dan berkontribusi nyata pada komunitas. Dalam komunitisasi, perusahaan harus mengindentifikasi bentuk-bentuk pemodelan komunitas untuk menciptakan afiliasi (pools, hubs, atau webs) dan karakteristik khusus mereka (purpose, value, identity).

sumber: Pinterest VectorStock
sumber: Pinterest VectorStock

3. New Targeting

Pada era sekarang ini, marketing menjadi semakin horisontal, semakin terhubung satu sama lain. Relasi vertikal antara perusahaan dan konsumen tidak berlaku lagi. Inilah wajah pemasaran di tahun 2030 yang sudah mulai kita rasakan tanda-tandanya sat ini.
Dunia sudah dan sedang berubah. 

Bahkan, tidak jarang, perubahan itu selalu terjadi dengan cepat dan mengejutkan. Akibatnya, tak jarang pula, banyak manusia dibuatnya tergagap- bahkan, terengah-engah mengikuti dunia yang tunggang langgang (runaway world). Tidak mengikuti tren sebentar saja, rasanya seperti sudah ketinggalan zaman atau bahasa gaul nya kudet. Salah satu pemicunya tak lain adalah perkembangan teknologi-khususnya teknologi informasi.


Salah satu bukti paling gamblang dari perubahan in adalah terjadinya horisontalisasi di berbagai bidang. Sekarang, masyarakat yang serba terkoneksi ini tampak semakin berdaya. Terkadang dengan sangat mudah, mereka berbagi opini, informasi, dan saling memengaruhi satu sama lain melalui sarana komunikasi berbasis internet (ih seremm). Informasi tidak lagi mengalir satu arah (dari alas bawah, seperti dari negara ke masyarakat, dari media arus utama ke konsumen beritanya).

Konsumen: Bukan Sekadar Target Pasif

Dalam buku Marketing Plus 2000, ditekankan tentang pentingnya strategi segmentasi dan targeting untuk memenangkan mind share, isi kepala dari konsumen yang dibidik. Dua strategi in memang merupakan fondasi dari pemasaran.

Bahwa segmentation adalah proses membagi pasar menjadi segmen-segmen (kelompok) yang lebih kecil berdasarkan karakteristik tertentu. Berikutnya Anda harus melanjutkan dengan proses targeting. In adalah proses untuk menentukan segmen belanggan yang akan dilayani (dan tidak dilayani) oleh perusahaan.

4. Produk Tetap Penting

Oke, era product-centric sudah berlalu. Apakah ini berarti produk menjadi elemen yang tidak penting lagi di dalam pemasaran? Tentu tidak, Meskipun kita sudah memasuki era yang lebih maju, pengembangan produk yang menarik dan efisien tetap diperlukan (product-centric), suara pelanggan pun tetap harus didengarkan ya! (customer-centric).

sumber: Pinterest Illumination Consulting
sumber: Pinterest Illumination Consulting

5. Metode penentuan harga


Bagaimana sih sebenarnya metode untuk menetapkan harga secara tepat? Berdasarkan model 4C yang di susun, ada empat cara untuk menentukan harga produk. Disimak ya..

a. Market-based pricing
Ini adalah penetapan harga berdasarkan mekanisme pasar, yaitu pertemuan antara besarnya permintaan dan penawaran produk di pasar. Ini biasanya terjadi pada produk-produk komoditas. Pedagang tidak bisa menentukan harga sendiri karena mekanisme pasar yang lebih berperan. Coba tengok harga cabai, tomat, dan beras. Saat suplai komoditas-komoditas in terlalu banyak-melebihi jumlah permintaannya-maka harganya akan anjlok. Demikian sebaliknya.

b. Competition-based pricing
Metode kedua dalam penetapan harga ini dilakukan berdasarkan perbandingan strategi, harga dan biaya dengan kompetitor. Para penjual produk di market place biasanya perlu "melirik" harga-harga yang ada ditoko sebelah.

c. Customer value-based pricing
Penetapan harga berikutnya berdasarkan persepsi dari pelanggan terhadap nilai (value) dari produk atau jasa yang ditawarkan. Jangan sampai Anda menjual produk terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Produk-produk mewah yang sudah memiliki brand terkenal berani pasang harga yang sangat tinggi, karena memang pelanggan memberikan penilaian yang tinggi pula terhadap produk mereka.

d. Cost-based pricing
Metode yang keempat ini biasanya dilakukan oleh para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Ini merupakan penetapan harga berdasarkan besarnya biaya untuk memproduksi, mendistribusikan dan mempromosikan produk ditambah tingkat keuntungan yang diharapkan.

sumber: Pinterest Creative Market
sumber: Pinterest Creative Market

6. Banyak Jalan Menuju Pelanggan


Saat ini kita akan membahas transformasi beberapa elemen bauran pemasaran (marketing mix) yang mencakup product, price, dan promotion. Elemen terakhir dari marketing mix, yaitu place, yang sering disebut juga dengan distribusi atau marketing channel.

Place inilah yang menghubungkan perusahaan dengan pelanggan-pelanggannya, sehingga barang atau jasa yang diproduksi bisa sampai ke tangan pelanggan. Secara tradisional, saluran distribusi bisa berupa pedagang grosir (wholesaler) yang melakukan pembelian produk dalam jumlah besar -untuk kemudian ditual kembali kepada pedagang yang lebih kecil- atau pedagang ritel (retailer) yang biasanya melakukan penjualan langsung kepada pemakai akhir (end user). Place secara offline bisa pula berupa dealer, agen atau kantor cabang, yang merupakan perpanjangan tanga langsung dari perusahaan.

Dengan adanya perkembangan teknologi, pilihan saluran distribusi menjadi semakin bervariasi. Berikut ini beberapa pilihan place yang lazim digunakan oleh perusahaan untuk menjangkau pelanggan.

- Digital channel. Ini adalah saluran distribusi yang paling berkembang saat ini. Medianya terus bertambah, dari yang awalnya hanya website, lalu bertambah dengan marketplace dan media sosial. Channel-nya ada yang dikelola perusahaan, ada pula yang dimiliki oleh pihak ketiga (misalnya marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dst.


- Telemarketing. Di dalam telemarketing atau teleselling, penawaran awal dilakukan oleh tim khusus yang menggunakan telepon. Tindak lanjut akan dilakukan ole tim lainnya iika konsumen sepakat untuk melakukan pembelian.


- Retail Stores. Ini adalah toko-toko yang menjual produk secara eceran, bisa dimiliki ole perusahaan (direct channel) namun umumnya dimiliki pihak ketiga (indirect channel).


- Distributor: Yang termasuk di dalamnya adalah perusahaan distribusi yang membeli produk dalam jumlah besar dari perusahaan lalu menjualnya kembali secara grosir, terutama ke toko-toko (retail stores).


- Partners. Mereka dapat dikatakan pihak ketiga (indirect channel) yang dapat membantu penjualan produk sekaligus memberikan layanan tambahan kepada para pelanggan.


- Sales Force. Ini adalah tim penjualan yang menawarkan produk atau jasa perusahaan secara langsung kepada calon pelanggan. Produk yang ditawarkan biasanya kompleks dan membutuhkan penjelasan.

7. New Selling

Selling? Jualan?
Kalau mendengar kata "selling", apa yang ada di benak Anda?
ya, jelas jualan! Makna selling pun akhirnya terbatas pada aktivitas menjual produk kepada pelanggan saja.
Memang banyak kelirumologi alias salah kaprah tentang selling ini. Bahkan tidak sedikit yang menyamakan selling dengan marketing.
"Keria di mana, Mas?"
"Bagian pemasaran, Bu"
"Ooo... jualan apa toh, Mas?"

Sebenarnya, yang dimaksud dengan selling adalah taktik untuk menciptakan hubungan jangka panjang dengan pelanggan melalui produk atau jasa perusahaan (Kartajaya, 2006). Selling inilah yang mengintegrasikan perusahaan, pelanggan, dan relasi yang terjadi di antara keduanya.

Di era Marketing 2000, selling menjadi elemen ketiga dari Taktik Pemasaran. Sebelumnya, perusahaan sudah menyusun diferensiasi dan meneriemahkannva ke dalam marketing mix. Dengan selling, perusahaan bisa mengembangkan taktik pemasaran agar bisa menghasilkan keuntungan finansial yang lebih signifikan. Karen itu saya menyebut selling sebagai capture tactic dari perusahaan.

Ada tiga tingkat utama dari selling, vaitu feature selling, benefit selling. dan solution selling. Kalau pasar sudah dibanjiri dengan berbagai pilihan produk, perusahaan tidak bisa hanva sekadar menjual fitur atau manfaat produk saja. Namun juga harus menjadi solusi bagi permasalahan pelanggan melalui produknya.

8. Tren Brand Masa Depan

Kehidupan kita sehari-hari sekarang juga penuh dengan berbagai brand produk yang berbeda yang terus-menerus saling berkompetisi untuk mendapatkan perhatian kita. Selain persaingan yang ketat antara brand, konsumen juga lebih selektif dari sebelumnya, yang menghasilkan keputusan pembelian yang dipertimbangkan dengan lebih hati-hati.
Menghadapi kenyataan baru ini, ada fakta bahwa menciptakan keterikatan brand yang emosional menjadi masalah krusial dalam manajemen brand. Lalu, bagaimana caranya?

Dari sini, kita dapat melihat peran brand telah berubah. Brand telah berubah dari sebuah objek menjadi sebuah subjek. Brand perlu memiliki "karakter" yang mendefinisikan dan menjadi identitas dari brand tersebut layaknya aktor yang bebas sendiri, tidak hanya sebagai alat atau simbol saja. Ibarat manusia, brand harus bisa tampil menjadi pemimpin dengan pengaruh yang kuat, namun bersikap setara sat berinteraksi dengan pengikutnya. Jangan sampai brand Anda dipersepsikan sebagai pemimpin yang otoriter. Ini sudah bukan zamannya lagi!

Untuk itu hubungan kepemimpinan brand (brand leadership) terhadap konsumennya harus menjadi semakin horizontal. Artinya, brand berubah dari yang sifatnya "mendikte" dalam rangka mendapatkan konsumen, menjadi semakin mengandalkan kharisma untuk menggaet konsumen secara sukarela. Inilah alasan perlunya brand memiliki character: Konsep branding yang berkarakter tersebut perl disesuaikan dengan tren akan teriadi di masa depan, khususnya pada tahun 2030 nanti.

9. Service "Bikin Pelanggam Baper. Bukan Caper"


Bagaimana service diberikan secara daring atau online?

Teknologi seharusnya semakin memudahkan pelanggan untuk mendapatkan pelayanan, seperti adanya digital customer service. Belajar dari sebuah e-commerce lokal, Tokopedia memliki beberapa pilihan dalam digital customer service-nya. Tokopedia memliki customer self-service yang berupa pilihan artikel-artikel yang sesuai dengan kendala pelanggannya dan menu pusat resolusi untuk pengajuan komplain.

Artikel-artikel tersebut biasanya dibuat berdasarkan frequently asked question (FAQ). Jika masalah belum terjawab, pengguna Tokopedia bisa langsung menggunakan fitur live chat yang akan terhubung dengan virtual assistant atau chatbot untuk membantu menyelesaikan masalah, hingga akhirnya terhubung dengan Tim Tokopedia Care. Pada akhirnya, pengguna Tokopedia dipandu agar masalahnya dapat diselesaikan dengan cepat. "Agent" yang ditugaskan untuk menangani masalahpun disesuaikan dengan kompleksitasnya.

Empati merupakan kunci yang penting di era digital ini. Meskipun hanya melalui aplikasi dan chatbot, teknologi harus bisa memberikan solusi yang tepat untuk manusia dengan gaya komunikasi yang 'Khas' manusia.

Apa itu Care?
Care memiliki level yang lebih tinggi daripada service. Ketika service hanya memberikan layanan secara standar, care berarti memberikan layanan yang sesuai dengan kegelisahan dan impian orang-orang yang dilayani. Care juga berarti benar-benar memperlakukan orang yang dilayani sebagai subjek manusia.


Memberi 'sentuhan' manusia pada era digital ini sangatlah penting untuk membuat pelanggan merasa diperhatikan. Di dalam seminar yang dihadiri lebih dari 1000 peserta secara virtual pertengahan tahun 2022 lalu, saya menyebutnya dengan istilah adopting humanity in technology.

Mengetahui kegelisahan dan impian para pelanggan menciptakan penyelesaian masalah dengan sifat yang lebih personal. Hal ini bukan sekadar memberikan layanan yang berkualitas untuk menciptakan kepuasan pelanggan, melainkan juga membangun koneksi emosional selama berinteraksi dengan pelanggan, baik secara offline maupun online.

Nah temen-temen segitu aja rangkuman nya. Ternyata kita sudah sampai di penghujung artikel. Semoga artikel diatas sangat bermanfaat untuk teman teman semua ya. Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan/kesamaan kata tanpa disengaja. Dadah temen-temen, salam sukses untuk kita semua!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun