Mohon tunggu...
Ayu Prawitasari
Ayu Prawitasari Mohon Tunggu... Wartawan -

Wanita pekerja yang masih menyempatkan menulis artikel di beberapa media massa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mencipta Sastra, Membaca Jendela Dunia

11 November 2016   15:01 Diperbarui: 11 November 2016   21:05 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam remaja-dua lelaki dan empat perempuan-mendatangi Taman Cerdas Jebres, Solo, Minggu (6/11) pagi. Beberapa di antara mereka hanya melirik sekilas sejumlah wahana permainan yang dipenuhi anak balita. Perpustakaan masih tutup lantaran menunggu tambahan 1.350 eksemplar buku yang akan dilengkapi melalui APBD Perubahan 2016.

Tanpa ragu, anak-anak seusia siswa SMP itu berjalan lurus menuju bagian belakang taman yang berundak dan duduk bersama di rerumputan. Setelah bersiap beberapa saat, mereka sibuk berswafoto. Belum puas berswafoto di bagian belakang taman yang menjadi ikon baru Kota Solo itu, mereka beralih ke sejumlah gazebo di samping taman untuk mendapatkan latar gambar yang lebih menarik.

Tak ada kegiatan diskusi pada Minggu pagi itu. Pendapa di taman dipenuhi remaja lain yang asyik dengan gadget masing-masing. Tak ada buku di tempat itu. Hampir semua remaja sibuk menatap smartphone masing-masing. Sunyi.

Suasana Minggu pagi itu mengingatkan saya pada keprihatinan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, saat Central Connecticut State University merilis hasil studi Most Littered Nation in the World pada Maret 2016 lalu. “Prestasi” Indonesia yang menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei meramaikan headline pemberitaan di hampir semua media (cetak, elektronik, maupun daring) lokal dan nasional.

Kondisi ini memprihatinkan lantaran  menurut Anies komponen infrastruktur yang mendukung kegiatan membaca di Indonesia tergolong bagus. Indonesia menempati peringkat ke-34 di atas Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan (Kompas.com, 24/8/2016). Menurut Anies, banyaknya perpustakaan, koleksi buku, maupun perpustakaan keliling tak selalu berbanding lurus dengan tingginya minat baca masyarakat.

Terbitnya aturan membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai (berdasarkan Pendikbud No. 13/2015 tentang Budi Pekerti) merupakan tindakan represif pemerintah dalam mengatasi rendahnya minat baca masyarakat. Butuh regulasi pasti yang menuntut keterlibatan sekolah, orang tua, maupun masyarakat untuk menumbuhkan minat baca generasi muda yang sangat memprihatinkan seperti yang diungkap Mudji Sutrisno dalam bukunya berjudul Oase Estetis terbitan Kanisius 2006 lalu.

Mudji menulis tradisi membaca di Indonesia sangat berbeda dibandingkan tradisi yang sama di negara-negara Eropa, khususnya Perancis. Budaya warga Perancis dibentuk melalui tradisi lisan yang bukan berbasis gosip atau mengobrol melainkan obsesi akan ilmu pengetahuan lewat kegiatan membaca yang diwariskan menjadi sebuah kebiasaan.

Dengan demikian kebiasaan membaca sudah mengakar dan mendarah daging sebelum diterpa gelombang dahsyat budaya elektronik dan televisi yang menempatkan orang-orang menjadi menjadi penonton pasif. Mudji mengkritik televisi sebagai pembungkam daya kreasi dan imajinasi warga melalui sejumlah program yang terkendali hingga mereka menjadi kelompok seragam tanpa kekhasan yang unik.

Perancis telah membuktikan, sambung Mudji, budaya membaca mampu membuat orang menghadapi revolusi televisi dan eletronika. Penyebabnya, ketekunan seseorang dalam mengolah sendiri isi bacaan serta berkonsentrasi ketika merangkum dan berwawasan sendiri (mempertemukan dialog pikiran dengan analisis pikiran) benar-benar teruji. Konsentrasi yang teruji ini menghasilkan wawasan sendiri yang membentuk individualattitude, sikap, dan persepsi sendiri dalam menghadapi kenyataan hidup (hal 10). Mereka tak mudah tergilas dalam budaya televisi maupun Internet yang lekat dengan kehidupan modern.

Gemeinschaft

Sekarang mari bandingkan kondisi itu dengan masyarakat komunal kita yang terbentuk dari budaya guyub (gemeinschaft) dengan ciri khas ikatan yang mendalam dan batiniah. Masyarakat agraris Indonesia terbiasa hidup dalam tradisi lisan yang berbasis konsesi hidup yang sama atau seragam demi kehidupan yang selaras. Komunikasi yang terjalin sehari-hari menjadi pengendali hubungan personal maupun sosial yang bersifat homogen.

Menjadi kesadaran bersama sebuah keunikan atau perbedaan hanya akan merusak keselarasan sehingga dianggap sebagai faktor pengganggu. Faktor pengganggu ini selanjutnya harus dikeluarkan dari komunitas agar tak merusak tatanan. Kondisi inilah yang menurut saya menyebabkan tradisi lisan berbasis gosip tumbuh subur di negara kita. Tidak heran pula revolusi televisi, elektronik, maupun Internet (melalui media sosial) begitu mudah terserap dalam budaya kita yang menganut paham seragam. Membaca yang belum mengakar dan membudaya mendukung revolusi tersebut bekerja tanpa halangan.

Maka tak heran pula Pramoedya Ananta Toer dalam buku berjudul Saya Terbakar Amarah Sendiri! terbitan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2006 mengungkap keresahannya tentang dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat. Pramoedya mengungkap bagaimana anak dan cucunya yang tak berminat membaca surat kabar lantaran mereka memilih televisi. Mereka tak berminat pada ilmu pengetahuan, demikian Pramoedya menilai. Dia lantas menduga tak adanya budaya membaca dalam keluarganya sebenarnya merupakan gejala umum yang terjadi dalam masyarakat luas.

Saat tak ada budaya membaca, lanjut Pramoedya, secara otomatis tak ada budaya menulis dan menerjemahkan di Indonesia. Tak heran pula betapa kita seringkali kesulitan menemukan buku bagus di toko-toko buku lantaran terbatasnya hasil karya penulis.

Masyarakat Indonesia tak dibiasakan berproduksi (menulis), namun masih berkutat pada kegiatan mentransfer budaya lisan ke dalam tulisan “tutur”  melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya). Tak adanya kebiasaan berkontemplasi saat membaca menyebabkan masyarakat dunia maya bangsa kita (netizen) seringkali menyerap mentah-mentah segala informasi yang bertaburan sebagai sebuah “ilmu pengetahuan”.

Aturan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai hendaknya dioptimalkan betul oleh para pendidik dalam membentuk budaya membaca maupun menulis di kalangan siswa. Namun, untuk menumbuhkan budaya itu para guru terlebih dulu harus menerapkan budaya membaca maupun menulis dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, para guru juga harus konsisten menjalankan profesi mereka sebagai pengajar, bukan yang lain.

Setiap tahun pemerintah daerah selalu menerima dana alokasi khusus (DAK) pendidikan hingga triliunan rupiah dari pemerintah pusat. Bantuan yang menjadi salah satu komponen pendapatan dalam neraca keuangan daerah itu wajib digunakan untuk membangun perpustakaan serta menambah koleksi buku-buku sekolah. Upaya ini menjadi kontraproduktif apabila para guru masih menjadikan institusi sekolah mereka tak ubahnya pasar tradisional.

Sekolah Bukan Pasar

Mengutip pandangan ST Kartono dalam buku berjudul Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru, terbitan Kompas 2009 lalu, para pengajar seringkali berperan sebagai belantik demi menambah pendapatan bulanan. Dengan mmanfaatkan rabat dari penerbit, pengusaha tekstil, maupun biro wisata, para guru tanpa malu-malu berjualan buku, seragam, maupun kegiatan piknik. Siswa menjadi pelanggan loyal. Akibat praktik ini, buku pelajaran siswa menjadi seragam dengan sistem pembacaan searah seperti yang ditunjukkan pengajar. Guru tak repot, siswa pun senang.

Padahal menurut saya, guru seharusnya membebaskan para siswa mereka menemukan bacaan sendiri ketika belajar. Tujuannya membentuk generasi muda yang berwawasan dan kritis dalam kehidupan. Konsekuensinya guru memang sedikit repot lantaran harus menyarikan sejumlah materi yang sesuai dengan kurikulum. Namun, di antara kerepotan para guru dan murid itu jelas tercipta suasana kelas yang dialogis dengan berbagai macam pandangan yang disuarakan siswa (hasil membaca beragam buku). Bukan monolog di depan kelas yang membosankan.

Hal lain yang tak kalah mencemaskan adalah pengajaran sastra yang seolah terabai dalam dunia pendidikan kita. Begitu malasnya guru dan murid membaca, pelajaran sastra di kelas seolah terjebak dalam tradisi menghafal periodesasi penulis dan karya mereka, tebak judul buku serta tahun pembuatannya, dan sejenisnya. Lagi-lagi sangat minim dialog kritik sastra dalam kelas antara pengajar dan para siswanya.

Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk menulis karya sastra yang merupakan refleksi kehidupan sehari-hari sejak usia dini. Belajar menciptakan karya sastra sama halnya dengan belajar berpikir mengenai kehidupan sekitar dan bagaimana memaknainya dalam tradisi tulis, bukan tradisi lisan yang gampang hilang. Persoalannya adalah tidak pernah ada contoh dari pengajar (membuat karya sastra) sehingga proses pembelajaran sastra menjadi sangat kering dan bukan berbasis produksi seperti harapan Pramoedya. Semuanya serba instan dengan model membaca menghafal di halaman-halaman tertentu untuk kepentingan ujian semester.

Permendikbud No. 13/2015 hanya akan menjadi macan ompong tatkala para guru tak menjalankan aturan tersebut secara konsisten sebagai pengajar. Pun ratusan perpustakaan yang tersebar di negeri ini hanya menjadi penanda tanpa makna apabila tak dimanfaatkan secara optimal.

Deklarasi Praha

Sebagai negara yang mengamini Deklarasi Praha yang dicetuskan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 2003 lalu (sumber Kemdikbud.go.id), segala regulasi maupun kebijakan pemerintah saat ini sebenarnya telah mendorong terciptanya literasi informasi. Literasi informasi adalah kemampuan mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis dan mengelola informasi menjadi pengetahuan untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosial. Literasi informasi sangat efektif mencegah potensi perpecahan bangsa yang dihasilkan dari banyaknya informasi sampah di media sosial.

Jadi, apa yang kita tunggu untuk mewujudkan ini semua? Pengorbanan jelas dibutuhkan dan itu bukan hanya dari kalangan guru melainkan juga pengelola perpustakaan daerah, para pejabat Dinas Pendidikan, hingga semua elemen masyarakat. Mari duduk bersama dalam satu meja sambil berbicara tentang agenda mengisi bulan bahasa, kegiatan-kegiatan sastra di sekolah maupun perkampungan, lomba-lomba puisi sampai resensi buku, serta masih banyak lagi yang lain demi membentuk iklim peradaban wacana. Saya menjadi bisa membayangkan penggambaran kereta bawah tanah yang ditulis Mudji dalam bukunya apabila hal itu terwujud. Begini dia mendeskripsikannya:

“Celah-celah tempat duduk di kereta bawah tanah (metro) Paris pada jam-jam padat berangkat/pulang kerja tidaklah luas. Namun, di celah-celah waktu pendek maupun waktu luang itu menonjolkan kebiasaan Parisiens (masyarakat Paris)...Ada saja yang dibawa dalam tas mereka untuk dibaca. Di depan saya, misalnya, seorang ibu rumah tangga sedang asyik membaca buku Agatha Christie. Di sampingnya lagi terdapat eksekutif yang membaca novel modern berjudul Jeritan Tengah Malam...seorang anak SD asyik membaca cerita pendek sambil sesekali bertanya kepada ibunya...”  (hal 9). 

Sayangnya khayalan saya tiba-tiba menghilang di akhir kalimat lantaran sekelebat pengalaman saya saat naik kereta Prameks jurusan Solo-Jogja mengisi ruang pikiran saya yang kosong. Penggambaran kereta di Prancis berganti cepat dengan gerbong kereta Prameks pada akhir pekan yang dijejali ratusan mahasiswa yang asyik bercanda sembari memainkan gadget di tangan mereka. Ada pula para pekerja yang tertidur kelelahan serta sekelompok laki-laki yang asyik bergosip sambil tertawa keras-keras saat meneceritakan kehebatan masing-masing. Lagi-lagi tak ada buku yang menghiasi gerbong kereta yang saya naiki sore itu. Perancis masih jadi khayalan yang sangat jauh.

Persebaran Perpustakaan Umum di Indonesia 2013

No  Provinsi                      Provinsi           Kabupaten       Kecamatan      Desa

1.   Aceh                                   1                      23                    -                       -

2.   Sumatera Utara                1                      34                    -                       1

3.   Sumatera Barat                1                      18                    -                       3

4.   Riau                                   1                      12                    -                      -

5.   Jambi                                 1                      11                    -                       -

6.   Sumatera Selatan             1                      16                    -                      11

7.   Bengkulu                           1                      10                    -                       -

8.   Lampung                           1                      12                    -                       8

9.   Kep. Bangka Belitung       1                      7                      -                       -

10. Kepulauan Riau                1                      6                      -                       -

11. DKI Jakarta                        1                      6                      -                       -

12. Jawa Barat                         1                      24                    5                      -

13. Jawa Tengah                     1                      34                    1                      246

14. DIY                                     1                      5                      -                       -

15. Jawa Timur                        1                      39                    2                      262

16. Banten                               1                      8                      -                       -

17. Bali                                     1                      0                      -                       1

18. NTB                                    1                      8                      18                    1

Sumber: perpusnas.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun