Mohon tunggu...
Ayunina Sharlyn
Ayunina Sharlyn Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Fiksi Amatir

Menulis kisah-kisah sederhana dari kehidupan, berharap ada pesan-pesan baik yang dapat mejadi imspirasi bagi semua orang. Mulai menjadi penulis online tahun 2020 di beberapa platform seperti Noveltoon, Novelme, Goodnovel, Goodwill, Novelgood. Novel yang sudah dicetak bersama Samudera Printing adalah Antara Arnesya dan Agnesia di tahun 2021. Ikut menulis antalogi bersama banyak penulis lain dalam buku bertajuk 'Tentang Rasa' dan 'Hujan' di tahun 2021. Dengan Novelgood bekerja sama dengan Phi Project Entertainment menerbitkan buku 'The Lost Prince' di tahun 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu di Rumah Kaca

29 Januari 2025   13:18 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:18 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

        Gadis kecil itu menyipitkan matanya. Terasa silau karena sinar matahari menerobos masuk dengan bebas di rumah kaca itu. Ya, tengah hari baru lewat sedikit. Tak apalah, cuma panasnya mahatari saja.

        "Ayah ... Ibu memanggil untuk makan siang. Ayo!" Dengan senyum ceria dia memanggil ayahnya yang sibuk bekerja dengan tanam-tanaman di depannya.

        "Sedikit lagi, nanggung ...," ujar ayahnya. Pria berumur hampir empat puluhan itu menoleh sebentar, lalu kembali mengerjakan yang harus dia tuntaskan.

        "Aku sangat lapar, Yah. Nanti aku bantu Ayah, deh. Aku janji," katanya. Dia sudah berdiri di sebelah ayahnya.

        "Baiklah. Demi Rinduku yang cantik ini ...." Ayahnya tersenyum lebar. Lalu melepas sarung tangannya, meletakkannya di meja kayu. "Ayo, Ayah juga sudah lapar."

        Mereka berjalan keluar dari rumah kaca itu. Rumah kaca ini tempat ayah mengembangkan tanaman-tanaman cantik yang kemudian dijual ke pasar bunga. Berbagai jenis tanaman dan bunga ada di sana. Cantik, indah, dan harum ketika bersemi, bermekaran, membuat gadis kecil itu betah ada di sana lama-lama dengan ayahnya.

        Rumah mereka berjarak dua puluh meter saja dari rumah kaca itu. Masuk ke ruang makan, ibu menunggu dengan senyum manisnya.

        "Rindu, ini ... makanlah! Sayur bening bayam dan jagung, tempe goreng dan kerupuk. Kesukaan kamu." Ibu menaruh piring dengan makanan siap disantap di depan Rindu.

        "Terima kasih, Bu. Lihat saja, aku akan cepat menghabiskannya." Sambil tersenyum, matanya berbinar karena senang, Rindu mulai menikmati makanan itu.

        Ayah dan ibu tersenyum melihat putrinya dengan lahap makan hidangan sederhana itu. Baginya bisa bersama ayah dan ibu, cukuplah. Tidak perlu mainan mahal, pakaian mewah, atau melancong ke tempat wisata yang jauh. Berada di rumah kaca, melihat bunga mulai mekar, mengejar kupu-kupu dan kumbang, juga menyiram tanaman, adalah rekreasi paling menyenangkan baginya.

        "Yah, kita balik ke rumah kaca sekarang? Aku mau bantu Ayah," ucap Rindu dengan semangat makin besar.

        "Wah, makan sebanyak itu, kamu pasti kuat menyiram semua tanaman di rumah kaca. Jadi Ayah bisa tidur sebentar, biar ga pegal punggung Ayah ini," timpal Ayah bercanda.

        "Yaaa .... Kalau aku sendirian, ga asyik, deh ...." Rindu memajukan bibirnya, cemberut.

        "Haa ... haaa ...." Ayah tertawa lepas. "Kok, anak Ayah tambah cantik kalau ngambek begitu?" Ayah masih saja menggoda Rindu.

        "Sudah, Yah, jangan digangguin terus. Lihat mukanya jadi panjang begitu." Ibu tersenyum simpul.

        "Maaf, yaa ... Ayah hanya bergurau. Ayo, kita berangkat. Tanaman di sana juga kangen kamu. Hari ini kamu belum bernyanyi untuk bunga-bunga." Ayah menggandeng Rindu dan keduanya melangkah kembali ke rumah kaca.

        Rindu berdiri di pintu rumah kaca itu.

        Lima belas tahun lalu, itu adalah hari terakhir dia bersama Ayah dan merawat semua tanaman yang indah dan cantik dalam rumah kaca itu. Siapa yang tahu, tiba-tiba ayah mendapat kabar buruk tentang keluarganya yang jauh di kota lain, lalu dia mendapat serangan jantung dan dalam waktu relatif singkat harus meninggalkan ibu dan Rindu selamanya.

        Ibu yang tidak bisa meneruskan mengurus rumah kaca, menjualnya agar dia dan Rindu bisa bertahan hidup. Setidaknya, Rindu masih bisa sekolah sampai tamat sekolah menengah atas. Rindu tak akan lupa, air matanya berderai tanpa henti karena harus pindah dan tinggal jauh dari rumah kaca kesayangannya. Ibu pun tak sanggup menahan air matanya saat melangkahkan kaki, melepas semua kebahagiaan di rumah kaca bersama kekasih hatinya, Ayah Rindu.

        "Maafkan Ibu, Nak. Tanpa Ayah, Ibu tak bisa mengurus semua tanaman itu. Ibu harus mencari pekerjaan lain agar kita bisa tetap hidup. Jika kamu sudah besar nanti, kau bisa membuat kembali rumah kaca yang cantik, seperti yang Ayah punya." Dengan Rindu di pelukannya, Ibu menenangkan hati putrinya yang masih saja sesekali meneteskan air mata.

        Tapi, rumah kaca itu adalah bagian terindah dalam hidup Rindu. Dia bertekad akan kembali satu hari nanti, masuk dalam rumah kaca itu, tempat dia dan Ayah bermain, bercanda, dan bersenang-senang setiap hari. Dia akan menanam banyak tanaman dan bunga, menyiramnya, membiarkan kupu-kupu dan kumbang ikut bergembira tinggal di sana.

        "Selamat siang, Mbak. Sudah sampai? Mari silakan." Seorang wanita setengah baya menyambut Rindu. Wanita itu rupanya menunggu Rindu di dalam rumah kaca itu.

        "Selamat Siang Bu Harjo. Apa kabar?" Dengan ramah Rindu menyalami Bu Harjo.

        "Ya, baik tidak baik, Mbak. Bagaimana, ya ... kehilangan suami, sedih tentu ... Tapi setidaknya suami saya tidak menderita sakit lebih lama," jawab Bu Harjo.

         Suami Bu Harjo meninggal setelah sakit hampir dua tahun. Bu Harjo tak mampu memperhatikan rumah kaca lagi. Dia fokus pada kesehatan suaminya hingga beliau berpulang.

        Rindu memandang rumah kaca itu. Tidak banyak berubah. Meski memang ada tanaman yang sama, ada yang berbeda dari yang dirawat Ayah dulu. Rindu masih bisa ingat dengan sangat jelas, di mana ayah meletakkan mawar, lalu seruni, bunga lilin, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Ah, Rindu tersenyum sendiri.

        "Ibu yakin melepas rumah kaca ini?" Rindu memandang wajah sayu Bu Harjo. 

        "Saya tidak ada pilihan. Sekarang juga usaha tanaman lebih banyak saingan. Saya tidak mampu mengejar mereka yang lebih cepat bergerak. Anak saya akhirnya meminta saya ikut dengannya ke Medan," jawab Bu Harjo.

        "Jika begitu, bisa kita lanjutkan mengurus surat-surat untuk pembelian, Bu?" ucap Rindu.

        "Tentu, Mbak. Kita ke rumah saja," ajak Bu Harjo.

         Sekarang, Rindu kembali ke rumah ini. Rumah masa kecilnya. Rumah tempat dia bermanja pada ayah dan ibunya. Tempat dia mengenal kasih sayang dan belajar banyak hal tentang kehidupan dari kedua orang tuanya. Rindu juga kembali menikmati rumah kaca kesayangannya. Tempat dia belajar menghargai keindahan tanaman yang memberi warna dalam hidup setiap orang.

        "Bunga itu, ada di mana-mana. Hadir pada waktu apa saja." Itu kata ayah pada Rindu. "Acara ulang tahun, orang menghias dengan bunga, meski ada balon juga. Acara pernikahan, ada banyak bunga. Sampai di pemakaman, orang menabur bunga."

        "Kenapa begitu, Yah?" tanya Rindu.

        "Karena keindahan dan keharuman kehidupan akan dilalui setiap orang. Juga saat duka dan tangis, yang akan hadir di antaranya. Tapi melalui semua itu, kita akan menjadi orang yang kuat." Rindu mengulang kata-kata ayahnya.

       "Kamu masih ingat kata-kata ayahmu, Nak?" Ibu menepuk bahu Rindu.

      "Dulu aku tidak mengerti, Bu. Sekarang aku sudah memahaminya." Rindu tersenyum pada ibunya.

      "Ayahmu pasti bangga padamu. Kamu berjuang agar bisa kembali memiliki rumah kaca ini. Dan sekarang ... kita kembali kemari," ujar ibu sambil memandang ke seluruh rumah kaca itu.

       "Iya, Bu. Aku sudah punya ilmu yang cukup. Aku pasti bisa mewujudkan mimpi Ayah, membawa harum dan cantiknya bunga pada setiap orang," kata Rindu dengan hati penuh gelora.

       "Terima kasih, terima kasih, Rindu." Ibu memeluk Rindu, dengan mata berkaca-kaca. Haru, melalui begitu banyak liku kehidupan, dia menyaksikan Rindu meraih harapan dan impiannya.

       Waktu terus bergulir. Musim tak akan berhenti melaju. Orang bilang roda kehidupan berputar. Saat ini bahagia hadir, siapa yang akan tahu jika sesaat kemudian berganti dengan tangisan yang seakan tak bisa reda. Tapi, seperti Rindu, yang ingin menghadirkan kecantikan dan keharuman, bisakah kita merasakannya? Bahwa di balik semua suka dan duka, tangis dan tawa, keindahan tak pernah hilang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun