"Selamat Siang Bu Harjo. Apa kabar?" Dengan ramah Rindu menyalami Bu Harjo.
    "Ya, baik tidak baik, Mbak. Bagaimana, ya ... kehilangan suami, sedih tentu ... Tapi setidaknya suami saya tidak menderita sakit lebih lama," jawab Bu Harjo.
     Suami Bu Harjo meninggal setelah sakit hampir dua tahun. Bu Harjo tak mampu memperhatikan rumah kaca lagi. Dia fokus pada kesehatan suaminya hingga beliau berpulang.
    Rindu memandang rumah kaca itu. Tidak banyak berubah. Meski memang ada tanaman yang sama, ada yang berbeda dari yang dirawat Ayah dulu. Rindu masih bisa ingat dengan sangat jelas, di mana ayah meletakkan mawar, lalu seruni, bunga lilin, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Ah, Rindu tersenyum sendiri.
    "Ibu yakin melepas rumah kaca ini?" Rindu memandang wajah sayu Bu Harjo.Â
    "Saya tidak ada pilihan. Sekarang juga usaha tanaman lebih banyak saingan. Saya tidak mampu mengejar mereka yang lebih cepat bergerak. Anak saya akhirnya meminta saya ikut dengannya ke Medan," jawab Bu Harjo.
    "Jika begitu, bisa kita lanjutkan mengurus surat-surat untuk pembelian, Bu?" ucap Rindu.
    "Tentu, Mbak. Kita ke rumah saja," ajak Bu Harjo.
     Sekarang, Rindu kembali ke rumah ini. Rumah masa kecilnya. Rumah tempat dia bermanja pada ayah dan ibunya. Tempat dia mengenal kasih sayang dan belajar banyak hal tentang kehidupan dari kedua orang tuanya. Rindu juga kembali menikmati rumah kaca kesayangannya. Tempat dia belajar menghargai keindahan tanaman yang memberi warna dalam hidup setiap orang.
    "Bunga itu, ada di mana-mana. Hadir pada waktu apa saja." Itu kata ayah pada Rindu. "Acara ulang tahun, orang menghias dengan bunga, meski ada balon juga. Acara pernikahan, ada banyak bunga. Sampai di pemakaman, orang menabur bunga."
    "Kenapa begitu, Yah?" tanya Rindu.