Penulis: Ayuni Kusumawati
Tanggal: 28/9/23
Budaya dalam berbagai manifestasinya merupakan salah satu yang menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara berkunjung ke Pulau Bali. Saat ini, pariwisata merupakan penggerak utama perekonomian di Bali. Akan tetapi, sebelum sektor pariwisata mendominasi perekonomian di Bali, pertanian merupakan penggerak utama kegiatan perekonomian. Seiring berubahnya kegiatan perekonomian di Bali, juga mengakibatkan menurunnya eksistensi kearifan lokal Bali. Salah satu kearifan lokal yang eksistensinya mulai menurun seiring dengan perubahan kegiatan perekonomian adalah awig-awig subak. Awig-awig merupakan hukum adat Bali yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tatanan kehidupan organisasi sosial tradisional Bali.Â
Ditinjau berdasarkan riset terdahulu yang dilakukan di Kabupaten Buleleng oleh Kardi dan Wisata (2014), awig-awig subak saat ini sangat mengkhawatirkan karena sosialisasi awig-awig subak yang sangat kurang dilakukan (puluhan tahun terakhir) dan tidak ada awig-awig subak yang mengakomodir upaya mencegah alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Melihat fenomena tersebut, lima mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya tertarik melakukan riset sosial humaniora. Riset ini dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab menurunnya eksistensi awig-awig subak, menganalisis perspektif masyarakat terhadap penurunan eksistensi awig-awig subak, dan menganalisis revitalisasi awig-awig sebagai upaya pencegahan alih fungsi lahan.
Kelima mahasiswa tersebut adalah Ayuni Kusumawati, Nur Aisyah Aminy, Mohamad Maulidan, Sofika Rahmadani, dan Rosita Nadha Febriany di bawah bimbingan dosen Hafida Ruminar, S.Pd., M.Pd.
"Adanya fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Bali menarik perhatian kami untuk meneliti perspektif masyarakat dan kaitannya dengan kearifan lokal awig-awig subak," Tutur Ketua tim, Ayuni Kusumawati.Â
Dengan dilakukannya riset ini, peneliti berhasil mengungkap bahwa memang terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, diantaranya untuk mendukung sektor pariwisata dan sektor pembangunan. Alih fungsi lahan ini juga berbanding lurus dengan eksistensi awig-awig subak yang sudah tidak seketat dahulu.
"Pada awig-awig maupun pararem yang ada di subak saya hanya mengatur terkait dengan teknis pertanian seperti jadwal tanam, olah tanam dan sebagainya, belum terdapat pasal yang membahas terkait dengan alih fungsi lahan," ungkap Pekaseh.
Lebih lanjut, Pekaseh menjelaskan bahwa penurunan luas lahan pertanian yang ada di Bali juga disebabkan oleh tingginya kebutuhan petani, sehingga petani terpaksa menjual lahan pertaniannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan melakukan upacara adat.Â
"Apabila terjadi alih fungsi lahan, pemilik lahan harus melakukan perizinan terlebih dahulu kepada pekaseh sebagai ketua subak. Apabila tidak mendapatkan perizinan dari pekaseh dan pembangunan sudah dilakukan maka pembangunan tidak diperbolehkan untuk dilanjutkan," Jelasnya.
Harapannya riset yang dilakukan ini dapat memperlihatkan fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Bali dan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah maupun bagi organisasi subak untuk melakukan revitalisasi awig-awig terkait alih fungsi lahan. Dengan begitu, lahan pertanian di Bali dapat terjaga dan kearifan lokal awig-awig subak juga dapat terus dilestarikan. Riset ini berhasil mendapatkan pendanaan riset dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia dalam ajang Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora dengan judul berjudul "Menelisik Perspektif Masyarakat Bali Terhadap Penurunan Eksistensi Awig-Awig Subak di Tengah Ancaman Alih Fungsi Lahan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H