Malam itu setelah membaca artikel di sebuah media online, saya tergoda untuk menelurusi hashtagh #detjolomadoe di Instagram. Hasilnya, ribuan foto muncul. Sebagian besar menampilkan gambar-gambar berlatar bangunan tua, antik dan cantik.Â
Bangunan ini tak lain adalah bekas pabrik gula yang kini dialihfungsikan sebagai destinasi wisata. Keindahan dan keunikan yang saya lihat di layar gawai tersebut berhasil menumbuhkan rasa penasaran serta keinginan untuk mengunjunginya secara langsung.Â
Apalagi, semakin hari semakin banyak foto #detjolomadoe yang mewarnai linimasi akun media sosial saya. Banyak teman yang mengunjungi destinasi unik di Karang Anyar ini, baik teman-teman di sekitar Solo Raya, maupun dari luar kota, seperti Jakarta dan Surabaya.
Tak lupa, saya memesan tiket kereta api lokal, Prameks, untuk transportasi dari Jogja ke Solo. Untungnya saat ini tiket Prameks sudah bisa dipesan secara online melalui aplikasi KAI, sehingga saya tidak perlu berdesakan dalam antrean panjang di stasiun untuk sebuah tiket yang belum tentu masih tersedia. Selain tiket Prameks, saya juga memesan hotel lewat online travel agent karena saya berencana menginap semalam di Solo.
Pada sebuah akhir pekan yang telah direncanakan, saya dan beberapa teman kantor berangkat ke Solo setelah jam kerja di kantor usai. Kami menghabiskan satu malam di kota ini, lalu keesokan harinya mengeksplorasi De Tjolomadoe.Â
Dari hotel tempat kami menginap di bilangan Slamet Riyadi, De Tjolomadoe berjarak sekitar 10 kilometer. Meskipun lokasinya di luar kota Surakarta, namun tetap mudah dijangkau walau kami tidak membawa kendaraan pribadi. Di pagi menjelang siang itu, taksi online yang kami pesan membelah lalu lintas Slamet Riyadi yang padat di hari Sabtu.
Setengah jam kemudian, kami sampai di tujuan. Saya mendapati kompleks bangunan tua dengan cerobong asap tinggi dinaungi langit biru, seperti yang pernah saya lihat di linimasa. Bendera merah putih berkibar mengikuti belaian angin.Â
Di bawahnya, empat angka menjadi penanda bahwa bangunan ini menyimpan dongeng panjang dari masa ke masa. Bahkan satu abad lebih telah berlalu dari masa itu.Â
Sejarah Pabrik Gula Colomadu
Pada masa penjajahan Belanda, banyak pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa. Namun, Pabrik Gula Colomadu adalah pabrik gula pertama yang dibangun oleh penguasa lokal, yaitu KGPAA Mangkunegara IV.Â
Saat Mangkunegara IV naik tahkta sebagai pemimpin Kadipaten Mangkunegaran, ia tak hanya mewarisi tampuk kepemimpinan sebelumnya, tetapi juga tumpukan utang pendahulunya kepada pemerintah kolonial Belanda.
Sebagai pemimpin, Mangkunegara IV bertekad melunasi utang tersebut. Ia memutar otak, mempelajari hukum agraria, mencari celah, dan menyusun strategi untuk memperoleh penghasilan guna menutup utang.Â
Ia pun memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah dengan para pengusaha Eropa. Tanah yang sebelumnya ia sewakan akan dikelola sendiri agar mendapat penghasilan yang lebih tinggi.
Tahun 1861, Mangkunegara IV mendirikan sebuah pabrik gula di desa Malangwijan yang dikenal dengan nama Pabrik Gula Colomadu. Meskipun pembangunannya sempat tersendat karena keterbatasan biaya, namun akhirnya pabrik gula ini selesai dibangun dan siap beroperasi.Â
Ditunjuklah seorang administratur yang bertugas mengelola PG. Colomadu. Dialah R. Kamp, sosok yang dipercaya sebagai administratur pertama PG. Colomadu.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, status Kadipaten Mangkunegaran dihapus. Selanjutnya, PG. Colomadu dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia.Â
Akan tetapi, langkah ini tidak mampu mengembalikan kejayaan PG. Colomadu di masa lalu. Sebaliknya, ia semakin sekarat dari waktu ke waktu seiring berkurangnya pasokan bahan baku karena petani mulai jarang menanam tebu.Â
Di sisi lain, pabrik juga tidak dikelola dengan manajemen yang baik. Sampai akhirnya, pada tahun 1998, perjalanan PG. Colomadu sebagai pabrik gula yang pernah berjaya harus berakhir mulai detik itu. Setelah 137 tahun beroperasi, kini cerobongnya yang menjulang tinggi tak lagi mengepulkan asap.
Nuansa Tempoe Doeloe di De Tjolomadu
Dua dekade berlalu sejak PG. Colomadu mengakhiri perjalanan panjangnya pada tahun 1998. Tetapi hari ini, ia telah memulai perjalanan baru. Memang bukan sebagai pabrik gula seperti dulu, namun cerita dan keunikan yang ditawarkan serupa gula yang mengundang semut untuk datang.Â
Sebagai destinasi wisata baru, De Tjolomadoe menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan, saya salah satunya. Apalagi pengaruh media sosial yang menampilkan foto-foto instagramable di De Tjolomadoe membuat bekas pabrik gula ini semakin ramai dikunjungi.
Meski sudah melalui serangkaian revitalisasi, namun proses ini tidak menanggalkan ciri khas De Tjolomadoe sebagai pabrik gula. Bahkan penamaan beberapa ruang yang disebut stasiun masih tetap disesuaikan dengan fungsi ruang tersebut di masa dulu. Ruang paling depan adalah Stasiun Gilingan yang dialihfungsikan sebagai museum.Â
Stasiun Ketelan disulap menjadi area penjualan makanan dan minuman (food and beverage). Stasiun Penguapan menjadi area arcade dengan concert hall yang megah, serta Stasiun Karbonatasi digunakan sebagai area art and craft.
Tungku-tungku tua telah sekian lama tak dipanasi. Pipa-pipa panjang menghubungkan tabung-tabung yang kini kosong di Stasiun Penguapan. Mesin-mesin besar dengan bintik-bintik karat telah berhenti beroperasi di Stasiun Gilingan.Â
Sudah puluhan tahun tak terdengar deru mesin yang bersinergi menggiling tebu. Menatap mesin-mesin tua itu, imajinasi saya mengembara. Mereka seolah bercerita dalam sunyi, bahwa dulu... mereka pernah begitu berjasa menghasilkan manis gula. Mesin-mesin buatan Jerman itu adalah bagian dari bukti nyata bahwa Mangkunegara IV tak main-main dengan pabrik gula ini.
"Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo kasih," demikian pesan Mangkunegara IV.
(Peliharalah pabrik ini, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat.)
Pascarevitalisasi, De Tjolomadoe tampil dengan wajah baru. Modern tanpa kehilangan identitasnya yang dulu. Kekinian tanpa menghapus jejak masa silam. Justru dengan revitalisasi ini, sejarah Pabrik Gula Colomadu semakin dikenal oleh banyak orang. Foto-foto lama dipajang berjajar di dinding dengan tajuk "The Journey of Colomadu Sugar Factory". Imajinasi saya diajak menyusuri tahun demi tahun sejak PG. Colomadu berdiri.Â
Lori-lori pengangkut tebu hingga proses penggilingan juga digambarkan lewat miniatur yang ditampilkan di dalam museum. Ditambah info-info menarik tentang tebu dan industri gula membuat De Tjolomadoe tak sekadar destinasi baru untuk berburu spot selfie, tetapi juga kaya informasi.
Dari bangunannya yang tinggi kokoh, pintu yang unik, dinding yang khas, mesin-mesin kuno yang besar, hingga sentuhan teknologi untuk menghasilkan spot foto instagramable di salah satu dinding. Kesan seram dan mangkrak yang sebelumnya melekat pada bangunan tua ini, pelan-pelan lenyap seiring dengan banyaknya pengunjung setelah revitalisasi.
Sebagai destinasi yang mulai ramai dikunjungi, tentu De Tjolomadoe semakin menghidupkan geliat ekonomi masyarakat di sekitarnya. Juga menjadi penghasilan untuk BUMN yang mengelolanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H