Mohon tunggu...
Qurotul Ayun
Qurotul Ayun Mohon Tunggu... Editor - Editor dan Penulis Buku

Pekerja Teks Komersial sebagai penulis dan editor buku di sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. IG dan Twitter @ayunqee

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

De Tjolomadoe, Dongeng Panjang dari Masa Lalu

26 Juli 2019   10:40 Diperbarui: 1 Agustus 2019   08:42 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret lama PG. Colomadu (Dokumentasi pribadi)

Malam itu setelah membaca artikel di sebuah media online, saya tergoda untuk menelurusi hashtagh #detjolomadoe di Instagram. Hasilnya, ribuan foto muncul. Sebagian besar menampilkan gambar-gambar berlatar bangunan tua, antik dan cantik. 

Bangunan ini tak lain adalah bekas pabrik gula yang kini dialihfungsikan sebagai destinasi wisata. Keindahan dan keunikan yang saya lihat di layar gawai tersebut berhasil menumbuhkan rasa penasaran serta keinginan untuk mengunjunginya secara langsung. 

Apalagi, semakin hari semakin banyak foto #detjolomadoe yang mewarnai linimasi akun media sosial saya. Banyak teman yang mengunjungi destinasi unik di Karang Anyar ini, baik teman-teman di sekitar Solo Raya, maupun dari luar kota, seperti Jakarta dan Surabaya.

screenshoot pribadi
screenshoot pribadi
Saya pun semakin tak sabar untuk secara langsung menikmati setiap jengkalnya yang instagramable. Namun sebelumnya, saya perlu memastikan lokasi tepat De Tjolomadoe melalu Google Maps. Sebab, lokasinya yang berada di Karang Anyar jelas tidak dijangkau oleh Batik Solo Trans, pikir saya semula. Setelah googling sana-sini, ternyata untuk menuju De Tjolomadoe kita bisa naik BST lalu turun di halte Pasar Colomadu, dan lanjut jalan kaki beberapa ratus meter.

Tak lupa, saya memesan tiket kereta api lokal, Prameks, untuk transportasi dari Jogja ke Solo. Untungnya saat ini tiket Prameks sudah bisa dipesan secara online melalui aplikasi KAI, sehingga saya tidak perlu berdesakan dalam antrean panjang di stasiun untuk sebuah tiket yang belum tentu masih tersedia. Selain tiket Prameks, saya juga memesan hotel lewat online travel agent karena saya berencana menginap semalam di Solo.

Pada sebuah akhir pekan yang telah direncanakan, saya dan beberapa teman kantor berangkat ke Solo setelah jam kerja di kantor usai. Kami menghabiskan satu malam di kota ini, lalu keesokan harinya mengeksplorasi De Tjolomadoe. 

Dari hotel tempat kami menginap di bilangan Slamet Riyadi, De Tjolomadoe berjarak sekitar 10 kilometer. Meskipun lokasinya di luar kota Surakarta, namun tetap mudah dijangkau walau kami tidak membawa kendaraan pribadi. Di pagi menjelang siang itu, taksi online yang kami pesan membelah lalu lintas Slamet Riyadi yang padat di hari Sabtu.

Setengah jam kemudian, kami sampai di tujuan. Saya mendapati kompleks bangunan tua dengan cerobong asap tinggi dinaungi langit biru, seperti yang pernah saya lihat di linimasa. Bendera merah putih berkibar mengikuti belaian angin. 

Di bawahnya, empat angka menjadi penanda bahwa bangunan ini menyimpan dongeng panjang dari masa ke masa. Bahkan satu abad lebih telah berlalu dari masa itu. 

Sejarah Pabrik Gula Colomadu

Pada masa penjajahan Belanda, banyak pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa. Namun, Pabrik Gula Colomadu adalah pabrik gula pertama yang dibangun oleh penguasa lokal, yaitu KGPAA Mangkunegara IV. 

Saat Mangkunegara IV naik tahkta sebagai pemimpin Kadipaten Mangkunegaran, ia tak hanya mewarisi tampuk kepemimpinan sebelumnya, tetapi juga tumpukan utang pendahulunya kepada pemerintah kolonial Belanda.

Sebagai pemimpin, Mangkunegara IV bertekad melunasi utang tersebut. Ia memutar otak, mempelajari hukum agraria, mencari celah, dan menyusun strategi untuk memperoleh penghasilan guna menutup utang. 

Ia pun memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah dengan para pengusaha Eropa. Tanah yang sebelumnya ia sewakan akan dikelola sendiri agar mendapat penghasilan yang lebih tinggi.

Tahun 1861, Mangkunegara IV mendirikan sebuah pabrik gula di desa Malangwijan yang dikenal dengan nama Pabrik Gula Colomadu. Meskipun pembangunannya sempat tersendat karena keterbatasan biaya, namun akhirnya pabrik gula ini selesai dibangun dan siap beroperasi. 

Ditunjuklah seorang administratur yang bertugas mengelola PG. Colomadu. Dialah R. Kamp, sosok yang dipercaya sebagai administratur pertama PG. Colomadu.

Potret lama PG. Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Potret lama PG. Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Sejak tahun 1863, cerobong PG. Colomadu mulai mengepulkan asap, tanda sedang berlangsungnya produksi gula. Bertahun-tahun PG. Colomadu beroperasi dengan wilayah pemasaran hingga Singapura, menjadi pabrik gula dengan kapasitas paling besar di Asia Tenggara. Keuntungan yang dihasilkan lebih dari cukup untuk melunasi utang serta membangun wilayah Kadipaten Mangkunegaran.

Cikar pengangkut tebu (dok. pri)
Cikar pengangkut tebu (dok. pri)
Setelah bertahun-tahun beroperasi dan mendulang keuntungan besar di masa kejayaannya, PG. Colomadu memasuki masa-masa sulit saat Jepang berkuasa pada tahun 1942. Pasalnya, demi kebutuhan perang, rakyat dipaksa menanam padi dan kapas, bukan tebu. 

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946, status Kadipaten Mangkunegaran dihapus. Selanjutnya, PG. Colomadu dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia. 

Akan tetapi, langkah ini tidak mampu mengembalikan kejayaan PG. Colomadu di masa lalu. Sebaliknya, ia semakin sekarat dari waktu ke waktu seiring berkurangnya pasokan bahan baku karena petani mulai jarang menanam tebu. 

Di sisi lain, pabrik juga tidak dikelola dengan manajemen yang baik. Sampai akhirnya, pada tahun 1998, perjalanan PG. Colomadu sebagai pabrik gula yang pernah berjaya harus berakhir mulai detik itu. Setelah 137 tahun beroperasi, kini cerobongnya yang menjulang tinggi tak lagi mengepulkan asap.

Nuansa Tempoe Doeloe di De Tjolomadu

Dua dekade berlalu sejak PG. Colomadu mengakhiri perjalanan panjangnya pada tahun 1998. Tetapi hari ini, ia telah memulai perjalanan baru. Memang bukan sebagai pabrik gula seperti dulu, namun cerita dan keunikan yang ditawarkan serupa gula yang mengundang semut untuk datang. 

Sebagai destinasi wisata baru, De Tjolomadoe menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan, saya salah satunya. Apalagi pengaruh media sosial yang menampilkan foto-foto instagramable di De Tjolomadoe membuat bekas pabrik gula ini semakin ramai dikunjungi.

Berfoto di depan De Tjolomadoe (Dokumentasi pribadi)
Berfoto di depan De Tjolomadoe (Dokumentasi pribadi)
Huruf demi huruf membentuk kata "De Tjolomadoe" terpampang di depan, menjadi landmark sekaligus nama baru untuk mengawali perjalanan baru. Berdiri di atas lahan seluas 6,4 hektar, De Tjolomadoe kini telah direvitalisasi melalui joint venture dari beberapa Badan Usaha Milik Negara, antara lain PT. Pembangunan Perumahan (PP), PT. Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan, Borobudur, Ratu Boko, PT. Jasa Marga Properti, dan PT. Perkebunan Nusantara. 

Meski sudah melalui serangkaian revitalisasi, namun proses ini tidak menanggalkan ciri khas De Tjolomadoe sebagai pabrik gula. Bahkan penamaan beberapa ruang yang disebut stasiun masih tetap disesuaikan dengan fungsi ruang tersebut di masa dulu. Ruang paling depan adalah Stasiun Gilingan yang dialihfungsikan sebagai museum. 

Stasiun Ketelan disulap menjadi area penjualan makanan dan minuman (food and beverage). Stasiun Penguapan menjadi area arcade dengan concert hall yang megah, serta Stasiun Karbonatasi digunakan sebagai area art and craft.

Berfoto dengan mesin-mesin tua. (Dokumentasi pribadi)
Berfoto dengan mesin-mesin tua. (Dokumentasi pribadi)
Nuansa tempoe doeloe begitu lekat saat saya memasuki ruang demi ruang De Tjolomadoe. Warna-warna cokelat, rust, dan abu-abu semakin menguatkan kesan antik pada dinding dan lantai ruang. Sebagian tembok bahkan dibiarkan terkelupas. 

Tungku-tungku tua telah sekian lama tak dipanasi. Pipa-pipa panjang menghubungkan tabung-tabung yang kini kosong di Stasiun Penguapan. Mesin-mesin besar dengan bintik-bintik karat telah berhenti beroperasi di Stasiun Gilingan. 

Sudah puluhan tahun tak terdengar deru mesin yang bersinergi menggiling tebu. Menatap mesin-mesin tua itu, imajinasi saya mengembara. Mereka seolah bercerita dalam sunyi, bahwa dulu... mereka pernah begitu berjasa menghasilkan manis gula. Mesin-mesin buatan Jerman itu adalah bagian dari bukti nyata bahwa Mangkunegara IV tak main-main dengan pabrik gula ini.

"Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo kasih," demikian pesan Mangkunegara IV.

(Peliharalah pabrik ini, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat.)

Pesan dari Mangkunegara IV (Dokumentasi pribadi)
Pesan dari Mangkunegara IV (Dokumentasi pribadi)
Sentuhan Kekinian: Menghapus Kesan Seram, Menarik Generasi Millenial

Pascarevitalisasi, De Tjolomadoe tampil dengan wajah baru. Modern tanpa kehilangan identitasnya yang dulu. Kekinian tanpa menghapus jejak masa silam. Justru dengan revitalisasi ini, sejarah Pabrik Gula Colomadu semakin dikenal oleh banyak orang. Foto-foto lama dipajang berjajar di dinding dengan tajuk "The Journey of Colomadu Sugar Factory". Imajinasi saya diajak menyusuri tahun demi tahun sejak PG. Colomadu berdiri. 

Lori-lori pengangkut tebu hingga proses penggilingan juga digambarkan lewat miniatur yang ditampilkan di dalam museum. Ditambah info-info menarik tentang tebu dan industri gula membuat De Tjolomadoe tak sekadar destinasi baru untuk berburu spot selfie, tetapi juga kaya informasi.

Perjalanan PG. Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Perjalanan PG. Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dengan tiket masuk seharga Rp25.000, pengunjung sudah bisa menjelajahi ruang-ruang di pabrik gula ini. Sudut-sudutnya yang fotogenik menggoda setiap orang untuk membidiknya dengan lensa kamera. 

Dari bangunannya yang tinggi kokoh, pintu yang unik, dinding yang khas, mesin-mesin kuno yang besar, hingga sentuhan teknologi untuk menghasilkan spot foto instagramable di salah satu dinding. Kesan seram dan mangkrak yang sebelumnya melekat pada bangunan tua ini, pelan-pelan lenyap seiring dengan banyaknya pengunjung setelah revitalisasi.

Pintu yang unik di Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Pintu yang unik di Colomadu (Dokumentasi pribadi)
Sampai sekarang, De Tjolomadoe masih hits sebagai tujuan wisata baru di Solo Raya, khususnya Karang Anyar. Aksesnya pun sangat mudah karena lokasinya tepat di tepi jalan raya. Jaraknya juga terbilang dekat dengan Bandara Adi Sumarno, hanya 4,6 kilometer. 

Sebagai destinasi yang mulai ramai dikunjungi, tentu De Tjolomadoe semakin menghidupkan geliat ekonomi masyarakat di sekitarnya. Juga menjadi penghasilan untuk BUMN yang mengelolanya.

Foto di sini juga cakep, loh (Dokumentasi pribadi)
Foto di sini juga cakep, loh (Dokumentasi pribadi)
Hal ini mengingatkan saya pada pesan Mangkunegara IV. Dan siang itu, sebelum meninggalkan De Tjolomadoe, saya meyakini satu hal. Benar apa yang disampaikan oleh Mangkunegara IV untuk merawat pabrik ini, karena meski tidak membuat kaya, tapi bisa menghidupi. Sekarang, walaupun tak lagi menjadi pabrik gula, De Tjolomadoe tetap mampu menghidupi, dengan cara lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun