Mohon tunggu...
Qurotul Ayun
Qurotul Ayun Mohon Tunggu... Editor - Editor dan Penulis Buku

Pekerja Teks Komersial sebagai penulis dan editor buku di sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. IG dan Twitter @ayunqee

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

De Tjolomadoe, Dongeng Panjang dari Masa Lalu

26 Juli 2019   10:40 Diperbarui: 1 Agustus 2019   08:42 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua dekade berlalu sejak PG. Colomadu mengakhiri perjalanan panjangnya pada tahun 1998. Tetapi hari ini, ia telah memulai perjalanan baru. Memang bukan sebagai pabrik gula seperti dulu, namun cerita dan keunikan yang ditawarkan serupa gula yang mengundang semut untuk datang. 

Sebagai destinasi wisata baru, De Tjolomadoe menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan, saya salah satunya. Apalagi pengaruh media sosial yang menampilkan foto-foto instagramable di De Tjolomadoe membuat bekas pabrik gula ini semakin ramai dikunjungi.

Berfoto di depan De Tjolomadoe (Dokumentasi pribadi)
Berfoto di depan De Tjolomadoe (Dokumentasi pribadi)
Huruf demi huruf membentuk kata "De Tjolomadoe" terpampang di depan, menjadi landmark sekaligus nama baru untuk mengawali perjalanan baru. Berdiri di atas lahan seluas 6,4 hektar, De Tjolomadoe kini telah direvitalisasi melalui joint venture dari beberapa Badan Usaha Milik Negara, antara lain PT. Pembangunan Perumahan (PP), PT. Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan, Borobudur, Ratu Boko, PT. Jasa Marga Properti, dan PT. Perkebunan Nusantara. 

Meski sudah melalui serangkaian revitalisasi, namun proses ini tidak menanggalkan ciri khas De Tjolomadoe sebagai pabrik gula. Bahkan penamaan beberapa ruang yang disebut stasiun masih tetap disesuaikan dengan fungsi ruang tersebut di masa dulu. Ruang paling depan adalah Stasiun Gilingan yang dialihfungsikan sebagai museum. 

Stasiun Ketelan disulap menjadi area penjualan makanan dan minuman (food and beverage). Stasiun Penguapan menjadi area arcade dengan concert hall yang megah, serta Stasiun Karbonatasi digunakan sebagai area art and craft.

Berfoto dengan mesin-mesin tua. (Dokumentasi pribadi)
Berfoto dengan mesin-mesin tua. (Dokumentasi pribadi)
Nuansa tempoe doeloe begitu lekat saat saya memasuki ruang demi ruang De Tjolomadoe. Warna-warna cokelat, rust, dan abu-abu semakin menguatkan kesan antik pada dinding dan lantai ruang. Sebagian tembok bahkan dibiarkan terkelupas. 

Tungku-tungku tua telah sekian lama tak dipanasi. Pipa-pipa panjang menghubungkan tabung-tabung yang kini kosong di Stasiun Penguapan. Mesin-mesin besar dengan bintik-bintik karat telah berhenti beroperasi di Stasiun Gilingan. 

Sudah puluhan tahun tak terdengar deru mesin yang bersinergi menggiling tebu. Menatap mesin-mesin tua itu, imajinasi saya mengembara. Mereka seolah bercerita dalam sunyi, bahwa dulu... mereka pernah begitu berjasa menghasilkan manis gula. Mesin-mesin buatan Jerman itu adalah bagian dari bukti nyata bahwa Mangkunegara IV tak main-main dengan pabrik gula ini.

"Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo kasih," demikian pesan Mangkunegara IV.

(Peliharalah pabrik ini, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat.)

Pesan dari Mangkunegara IV (Dokumentasi pribadi)
Pesan dari Mangkunegara IV (Dokumentasi pribadi)
Sentuhan Kekinian: Menghapus Kesan Seram, Menarik Generasi Millenial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun