Dua dekade berlalu sejak PG. Colomadu mengakhiri perjalanan panjangnya pada tahun 1998. Tetapi hari ini, ia telah memulai perjalanan baru. Memang bukan sebagai pabrik gula seperti dulu, namun cerita dan keunikan yang ditawarkan serupa gula yang mengundang semut untuk datang.Â
Sebagai destinasi wisata baru, De Tjolomadoe menjadi magnet yang menarik banyak wisatawan, saya salah satunya. Apalagi pengaruh media sosial yang menampilkan foto-foto instagramable di De Tjolomadoe membuat bekas pabrik gula ini semakin ramai dikunjungi.
Meski sudah melalui serangkaian revitalisasi, namun proses ini tidak menanggalkan ciri khas De Tjolomadoe sebagai pabrik gula. Bahkan penamaan beberapa ruang yang disebut stasiun masih tetap disesuaikan dengan fungsi ruang tersebut di masa dulu. Ruang paling depan adalah Stasiun Gilingan yang dialihfungsikan sebagai museum.Â
Stasiun Ketelan disulap menjadi area penjualan makanan dan minuman (food and beverage). Stasiun Penguapan menjadi area arcade dengan concert hall yang megah, serta Stasiun Karbonatasi digunakan sebagai area art and craft.
Tungku-tungku tua telah sekian lama tak dipanasi. Pipa-pipa panjang menghubungkan tabung-tabung yang kini kosong di Stasiun Penguapan. Mesin-mesin besar dengan bintik-bintik karat telah berhenti beroperasi di Stasiun Gilingan.Â
Sudah puluhan tahun tak terdengar deru mesin yang bersinergi menggiling tebu. Menatap mesin-mesin tua itu, imajinasi saya mengembara. Mereka seolah bercerita dalam sunyi, bahwa dulu... mereka pernah begitu berjasa menghasilkan manis gula. Mesin-mesin buatan Jerman itu adalah bagian dari bukti nyata bahwa Mangkunegara IV tak main-main dengan pabrik gula ini.
"Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo kasih," demikian pesan Mangkunegara IV.
(Peliharalah pabrik ini, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat.)