Tepat 17 Agustus 2015, saya dan beberapa teman mendaki Gunung Merbabu. Medan yang penuh tanjakan dan licin oleh debu karena lama tak terguyur hujan membuat para pendaki harus ekstra hati-hati dan sabar. Sekembalinya dari pendakian, baru terasa kaki pegal-pegal. Keesokan harinya, pegal-pegal di kaki memang belum sepenuhnya hilang, tapi badan sudah bugar dan siap beraktivitas lagi. Jam 07.30 saya masuk kantor. Sementara, teman saya memilih izin untuk memperpanjang istirahat karena masih kecapekan dan lemas.
Di lain waktu, saya sedang menjalankan puasa Ramadhan dan harus mengikuti study tour ke Golconda Fort. Benteng bersejarah ini terletak di atas bukit sehingga wisatawan harus mendaki hingga puncak benteng. Waktu puasa yang 1,5 jam lebih lama dibanding Indonesia tidak menghalangi saya. Dengan lincah tanpa terlalu lelah, saya kuat mendaki meski sedang berpuasa dan sinar matahari sangat terik kala itu.
Padahal, jika kembali ke tahun-tahun sebelumnya di masa kuliah, saya merupakan orang yang kecanduan kerokan. Kehujanan sedikit, langsung meriang. Kehujanan banyak, langsung kerokan. Dalam satu bulan, bisa 3-4 kali saya minta dikeroki. Kecapekan sedikit langsung manggil tukang pijit. Keseringan jalan-jalan langsung tumbang. Dari situlah muncul kesadaran saya untuk menjalankan gaya hidup sehat sebagaimana dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan lewat GERMAS (Gerakaran Masyarakat Hidup Sehat). Tinggal di kos-kosan dan jauh dari orang tua bukan alasan untuk tidak bisa menerapkan gaya hidup sehat. Meski anak kos identik dengan makanan instan, bukan tidak mungkin untuk menjaga kesehatan dengan baik.
Tak bisa dipungkiri bahwa dalam bidang kesehatan, sampai sekarang Indonesia masih memiliki tantangan besar, salah satunya adalah meningkatnya penyakit tidak menular (PTM). Diabates, kanker, stroke, dan penyakit jantung koroner menduduki peringkat tertinggi pada tahun 2015. Sementara itu, menurut laporan The Legatum Prosperity Index 2017, indeks kesehatan global Indonesia berada di posisi ke 101 dari 149 negara.Â
Kesadaran untuk hidup sehat di Indonesia memang masih rendah. Padahal, gaya hidup sehat sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan, baik dalam jangka pendek maupun panjang, termasuk mencegah PTM. Dokter Hiromi Shinya yang sudah berpengalaman selama 40 tahun melihat bahwa 90% dari segala penyakit diakibatkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan gaya hidup. Berkaitan dengan ini, pemerintah gencar mengajak masyarakat untuk hidup sehat.
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) merupakan suatu tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Pelaksanaan GERMAS harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat yang membentuk kepribadian. (www.depkes.go.id)
Sebagai pelaku gaya hidup sehat, sebisa mungkin saya melakukan GERMAS dalam kehidupan sehari-hari, misalnya melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi sayu dan buah, menjaga kebersihan lingkungan, tidak merokok, dan lain-lain. Sekarang, saya sangat bersyukur karena semua keluhan kesehatan tinggal kenangan. GERMAS membawa perubahan yang sangat berarti bagi kesehatan saya, tertutama untuk meningkatkan sistem imun. Karena jika sistem imun kuat, kita tidak mudah terjangkit penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular.
Inilah tips dari saya sebagai anak kos untuk menjalankan GERMAS demi kesehatan yang lebih berkualitas dan menghindari PTM.
1. Makan Buah sebelum Makan Berat
Di antara aroma kopi yang menguar setiap pagi di kantor, saya memilih meneguk jus buah murni atau mengunyah buah-buahan potong. Tentu bukan tanpa alasan saya memilih buah untuk mengawali sarapan. Sebab, di waktu pagi, tubuh memasuki fase pembuangan, baik lewat BAB, BAK, pori-pori (keringat), dan napas. Proses pembuangan ini menyita banyak sekali energi tubuh. Agar energi tubuh fokus pada proses pembuangan, bukan untuk mencerna makanan berat, sebaiknya kita awali hari dengan makanan yang mudah dicerna. Buah adalah pilihan terbaik, karena selain ringan di pencernaan, fruktosa buah juga cepat memberi energi untuk beraktivitas. Mau apel, jeruk, pisang, nanas, atau buah lain, pilih yang matang sempurna.
Satu lagi, dan ini sering menjadi salah kaprah di masyarakat, yaitu makan buah sebagai pencuci mulut setelah makan besar. Buah itu cepat sekali dicerna, hanya sekitar 15-30 menit. Sedangkan makanan lain, misalnya nasi, apalagi daging, membutuhkan waktu yang lebih lama, sekitar 2--5 jam. Mengonsumsi buah setelah makan nasi justru membuat makanan tersebut difermentasi oleh fruktosa buah sehingga makanan yang belum selesai dicerna sudah "busuk" duluan. Paling tidak, beri jeda 15-30 menit setelah makan buah jika ingin makan makanan lain.
2. Perbanyak Makan Sayur Segar
Sayur segar yang dimaksud di sini adalah sayur mentah alias raw atau lalapan. Kenapa harus mentah? Menurut Dokter Tan Shot Yen dalam bukunya, Sehat Sejati yang Kodrati, jika kita mengonsumsi makanan mentah langsung dari alam seperti sayur segar dan buah, makanan ini masih kaya akan enzim yang akan memecah dirinya sendiri (self-digesting).
Ada beragam jenis dressing atau cocolan untuk teman makan lalapan. Mulai dressing ala western, middle east, sampai dressing lokal seperti sambal pecel, sambal terasi, atau sambal matah, semua bisa jadi pilihan.
3. Setop/Kurangi Makanan atau Minuman yang Mengandung Pengawet
Selain memperbanyak konsumsi sayur dan buah, makanan berpengawet juga harus dihindari. Jika belum bisa menghindarinya secara total, paling tidak, kurangi konsumsi makanan berpengawet. Makan makanan berpengawet memang tidak serta-merta membuat kita sakit, tapi dalam jangka waktu lama, tubuh tidak akan bohong.
Menjadi anak kos bukan berarti kita terus-menerus mengonsumsi makanan instan dan berpengawet. Sesekali tidak apa-apa, tapi bukan untuk konsumsi dalam jangka waktu lama. Cobalah belanja sayu dan buah di tukang sayur atau pasar tradisioanal, lalu masak sendiri sesuai selera. Kalaupun sedang sibuk atau malas masak, pilihlah makanan ala rumahan di warteg, bukan junk food.
Â
4. Penuhi Kebutuhan Air Putih
Tubuh punya hak untuk dipenuhi kebutuhannya akan air putih sebanyak 2,5 liter atau 8 gelas sehari. Ketimbang cairan lainnya, seperti kopi, soda, sirop, atau minuman berenergi, air putih tidak membuat ginjal bekerja keras untuk menyaringnya. Cek air kencingmu, jika berwarna kekuningan, artinya tubuh sedang kekurangan cairan. Jika kebutuhan air tecukupi, air kencing akan berwarna bening.
5. Istirahat dan Olahraga CukupÂ
Kedua hal ini kadang sering diabaikan. Begadang menjadi bagian dari gaya hidup di kalangan milenial, apalagi mereka yang workaholic. Ditambah malas olahraga, lengkap sudah. Istirahat yang cukup itu bukan sekadar rebahan di kasur tapi sambil nonton Youtube atau buka media sosial di gawai. Bagaimana dengan olahraga? Olahraga ringan bisa kita lakukan di rumah, misalnya yoga, plank, pilates, jogging keliling kompleks, jalan kaki atau bersepeda ke pasar, dan masih banyak aktivitas fisik lainnya yang baik bagi kesehatan. Paling tidak, luangkan 30 menit per hari untuk melakukan aktivitas fisik.
6. Menjaga Kebersihan Lingkungan
Kebersihan lingkungan sangat mendukung kesehatan orang-orang di lingkungan tersebut. Bersihkan kamar setiap hari, kuras bak mandi, bersihkan WC, buang sampah ke tempatnya. Lingkungan yang bersih tak hanya baik bagi kesehatan, tapi juga membuat nyaman dan enak dipandang.
7. Memeriksakan Kesehatan
Memeriksakan kesehatan tidak perlu menunggu sakit. Secara rutin, sebaiknya kita memeriksakan kesehatan meski tidak sedang merasa sakit, misalnya cek tekanan darah, kadar kolesterol, gula darah, periksa payudara sendiri, serta tes pap smear dan tes IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) untuk deteksi dini kanker leher rahim.
Tuhan  menciptakan tubuh manusia dengan sistem imun yang luar biasa untuk melawan infeksi. Namun jika tidak dirawat, lama-kelamaan sistem akan melemah, penyakit akan mudah menyerang. Batuk, pilek, pusing, sebenarnya merupakan "alarm" bahwa ada sesuatu yang salah dengan tubuh kita, meski tidak selalu berujung pada penyakit parah. Sayangnya, kebanyakan orang justru "mematikan alarm" tersebut dengan minum obat tanpa mengubah pola hidupnya menjadi pola hidup sehat. Padahal, jika makanan tidak bisa menjadi obat, makan obat yang akan menjadi makanan kita. Pilih mana?
 Ayo, mulai GERMAS dari sekarang juga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H