"Tapi..., ini kan hari Minggu, biasanya Romlah yang ngantar sarapan buat Bapak ke sawah."
Aku tersenyum kecut. "Bapak hari ini nggak ke sawah. Hari Minggu kan hari libur, biar kayak PNS," kelakarku disambut senyum Romlah memamerkan gigi gingsulnya.
Namun tiba-tiba, senyum itu tampak kabur dalam pandanganku. Berganti dengan wajah berpeluh yang penuh kepanikan. Ah, mimpi itu lagi!
***
 Matahari membiaskan sinar hangat yang membuatku sedikit terlupa akan mimpi semalam. Apalagi kedatangan cucu, anak, dan menantu semakin membuatku tak lagi memikirkan mimpi buruk itu. Semua akan baik-baik saja. Mimpi hanya kembang tidur. Kalaupun mimpi semalam adalah gambaran takdir, aku akan mengubah takdirku!
"Mbah..., ayo tumbas cilok," ajak cucuku.
Gadis kecil berusia lima tahun itu selalu mampu menghiburku dengan tawa dan manjanya. Ia menarik bajuku pelan, mengajakku menunggu tukang cilok keliling menjajakan dagangannya.
Sambil menggendong cucuku, aku berdiri di pinggir jalan depan rumah. Orang-orang lalu lalang sambil menyapaku seraya melempar senyum. Aku semakin yakin, semua akan baik-baik saja.
Sayangnya, keyakinan itu tak lama. Keyakinanku mulai goyah saat segerombolan pria bermotor menghampiriku, lengkap dengan kayu pentungan, sabit, dan cangkul. Detak jantungku meningkat berlipat-lipat. Di antara raungan mesin motor, bayangan mimpi semalam kembali melintas di benakku.
Aku buru-buru menaruh cucuku di teras rumah, lalu menghampiri mereka kembali. Namun tanpa memberiku kesempatan berkata-kata, mereka langsung mengikat kedua tanganku dan menghajar habis-habisan. Kayu dan batu yang mereka bawa menghantam tubuhku bertubi-tubi. Tanpa ampun. Tak puas, mereka menyeretku entah ke mana. Yang kudengar hanya raungan mesin motor mereka disertai umpatan dan ancaman. Tak ada satu pun orang yang menolongku, sebab aku tahu bahwa warga kampung pasti takut melihat gerombolan preman yang sudah tak asing bagi mereka, begitu juga bagiku.
Mereka terus menyeretku, hingga kudengar celoteh anak-anak yang sedang bermain bersama guru mereka. Kini aku tahu, preman-preman itu membawaku ke balai desa yang bersebelahan dengan sekolah PAUD. Sampai di sini, jangan pikir penyiksaan itu berhenti. Justru mereka semakin brutal. Di sini, mereka telah menyiapkan alat setrum. Ya, mereka telah menyiapkannya, lebih tepatnya merencanakan. Jangan tanya bagaimana bisa mereka menyiapkan semua ini di balai desa. Atau, tanyakan saja pada kepala desa kami yang keberadaannya hanya ditandai dengan semakin maraknya penambangan liar.