Dinding pengharapan ini bisu tak berbentuk, tak dapat lagi kubaca apa yang aku tulis.
Hanya satu yang dapat ku baca, masih kuingat kapan pensil lusuh ini aku goreskan.
Ejaan namamu ku tulis beserta harapan dan kebahagiaan.
Asa ini tak dapat bersuara di dunia nyata.
Pekiknya hilang ditelan kesakitan.
Kesakitan menerima kenyataan bahwa kau telah miliki tambatan hati, dan tengah dalam pengharapan sepertiku.
Setidaknya itulah hipotesis yang ku konsep dalam benakku.
Akhlaq dan kepribadianmu menjadi alasan kuat mengapa ku goreskan namamu pada dindingku.
Semula, tak ter-prediksi bahwa bisa sejauh ini pengaruhmu.
Hingga setahun berlalu.
Asa ini tak juga lenyap.
Tetap bertahan di salah satu sudut terapuh dalam diriku.
Aku jadi seorang autis, aku gila, buatku bukan masalah besar jika harus memandangi akun jejaring sosialmu hingga dini hari tuk hanya sekedar tau apa yang kau lakukan.
Kebiasaan bodoh yang menjadi celah penoreh luka.. Karena aku cemburu.
Namun,karenamu lah aku merasa dilahirkan normal, dianugerahkan rasa cinta oleh Sang Maha Cinta, ALLAH Aza Wa Jala.
Aku menikmati merindukanmu, aku nikmati sakit mencintai mu.
Mungkin kehidupan kedua, bisa membawamu kepadaku.
Jadilah aku pemendam rindu.
Jihadku, menjaga rasa yang tiba sebelum waktunya,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H