Mohon tunggu...
Ayu Laksmi
Ayu Laksmi Mohon Tunggu... Lainnya - Copywriter

Bercerita melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Himne Kematian

3 Februari 2021   17:05 Diperbarui: 3 Februari 2021   19:41 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest/autumntonja

Hari ini hujan turun sangat lebat dan aku menemukan diriku duduk di depan teras rumahku yang sedang berantakan dan acak-acakan, memandangi rintik-rintik air yang jatuh ke permukaan tanah, menghinggapi daun-daun dan batang-batang pohon—membuatnya basah.

Aku melihat sekeliling dan merenung, tak banyak yang kupikirkan. Pikiranku kosong tapi seperti hal-hal terus-menerus berkecamuk dalam kepalaku. Sudah terlalu lama aku merasa seperti ini tapi perasaanku tak ku hiraukan.

Pohon-pohon bambu besar yang banyak orang katakana sebagai barongan pun turut menari-nari seraya merayakan hujan lebat, disertai angin. Melihat hal itu anehnya aku dapat mendengar suara-suara teriakan dari barongan yang amat memilukan. Sungguh menyayat hatiku sampai tak kuasa untuk aku tidak menitikan air mata melihatnya. Menawan, namun sangat memilukan.

Disertai dengan semerbak bau yang aneh, namun sangat familiar. Bau yang berasal dari dupa yang dibakar mamaku untuk persembahan kepada sang leluhur di Hari Raya Pagerwesi hari ini terasa seperti bau dari seseorang yang dahulu sangat kucintai. Bau yang sungguh tidak asing, walau sebenarnya jenis baru dupa yang dibakar dan sangat asing—untuk keluargaku.

Aku mendengar jeritan-jeritan kematian yang dibawa oleh hujan dan angin, seraya menangis. Kemudian sampailah aku di sebuah titik dalam pikiranku, yang mungkin bagi sebagian orang tidak masuk akal ataupun sangat konyol.

Di titik ini aku merasa hal-hal yang kusaksikan tadi sebenarnya adalah sebuah pertanda, atau mungkin suatu wasiat dari jiwa-jiwa yang telah lama hilang namun tak sempat diselamatkan. Mereka meminta tolong, atau mungkin mereka adalah bagian dari diriku di kehidupanku sebelumnya.

Belakangan kudapati diriku seperti cangkang tak bertuan, hanya ada raga namun tak berjiwa. Aku sibuk mencari jiwaku kemana-mana dan tak dapat kutemukan dimanapun. Aku kehilangan motivasi dan harapan untuk hidup—hal-hal tersebut agaknya telah lama direnggut dariku. Tak ada lagi hal yang begitu menyenangkan, ataupun menyedihkan

 Aku tak dapat merasakan apapun selain kehampaan dan kekosongan. Berulang kali terbesit di pikiranku bahwa mungkin ketiadaanku akan memberikan kebahagiaan bagi mereka di sekitarku, dan aku terlampau lelah untuk menjalani hidup tanpa harapan seperti ini. Membayangkan harus mengisi hari-hariku berikutnya dengan kekosongan dan kehampaan tak berarti, bukankah hidup seperti ini justru terasa seperti mati?

Aku terdiam. Tak kusangka melihat tarian yang ditarikan daun-daun basah, isakan dari barongan  dan bau dupa yang asing namun familiar ini kemudian mengingatkanku akan hal-hal baik dalam hidup. Akan kenangan tentang ia yang terkasih, akan keberuntungan dan berkat bahwa saat ini aku masih dapat diberi kesempatan untuk menikmati setiap momen yang terlihat sepele, namun sebenarnya sangat berharga.

Setiap harinya berarti dan berbeda. Setiap hari akan selalu ada harapan baru dan karenanya, walaupun di beberapa saat hidup terasa sangat tidak adil dan menyesakkan—ia adalah suatu karunia yang harus aku syukuri.

Saat ini aku masih diberikan kesempatan untuk bernafas dan berlindung, hidup dengan nyaman, penuh kehangatan dari rumahku yang mungkin kata orang using namun ia adalah tempat aku bernaung dan berlindung. Dilimpahi kasih dari keluarga dan kerabat yang sampai saat ini masih ada di sekelilingku untuk mendukung dan menemaniku, untuk terus berada di sisiku. Hal-hal yang sempat aku lupakan karena terlalu dalam tenggelam dan terperosok dalam kegelapan yang ada dalam hatiku.

Papa pernah berkata bahwa sebenarnya kegelapan dan ketidakpercayaanku terhadap apapun yang dunia berikan, adalah karena kurangnya dan nihilnya aku berserah dan bercerita kepada-Nya, pemilik seluruh alam semesta, pemilik seluruh raga dari semua mahluk yang hidup dan Ia yang berkuasa penuh atas hidup dan matinya.

Kehilangan-kehilangan yang telah aku lalui beberapa tahun belakangan; kekecewaanku, kemarahanku, kesedihanku terhadap penghianatan, ditinggalkan, dan seluruh kekejaman manusia yang perlahan telah merenggut seluruh kepercayaanku pada hidup hari ini Ia tanggalkan seluruhnya. Bahwa sebenarnya hidup itu sendiri merupakan anugerah terbesar yang tak ternilai maknanya, dan karenanya setiap hari perlu untuk disyukuri keberadaannya.

Kematian mungkin akan datang untuk menjemput siapapun yang bernyawa, hal itu adalah pasti dan hukum alam. Namun hari ini aku belajar, bahwa mungkin dari teriakan-teriakan dan himne kematian mahluk-mahluk yang kudengar hari ini adalah pertanda, bahwa yang mati pun sebenarnya masih ingin hidup lebih lama di dunia ini.

Oleh karena itu seberat apapun, bagaimanapun juga badai yang menghadang dan menghancurkan tak akan selamanya terus ada disana. Setelah badai usai, pasti matahari akan kembali dan menerangi seluruh alam semesta.

Karenanya, harapan itu akan selalu ada.

Malang, 3 Februari 2021
Ditulis pada Hari Raya Pagerwesi,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun