Di sisi lain, hasil studi banding dengan negara-negara maju di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam, menunjukkan berbagai praktik unggul yang dapat dijadikan inspirasi. Singapura, misalnya, memiliki pendekatan berbasis inovasi teknologi dan sistem evaluasi pendidikan yang terintegrasi dengan kebutuhan industri. Malaysia telah berhasil mengembangkan kebijakan pendidikan inklusif yang memperhatikan kebutuhan masyarakat multikultural. Sementara itu, Vietnam menonjol dengan fokusnya pada penguatan kompetensi dasar, seperti matematika dan sains, yang menjadi fondasi bagi kemajuan pendidikan lebih lanjut (Lase., dkk. 2024).
Pembahasan
1. Tantangan Sistem Pendidikan di Indonesia
Sistem pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan mendasar yang memengaruhi efektivitasnya dalam menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten, relevan, dan mampu bersaing di tingkat global. Tantangan-tantangan ini muncul dari berbagai aspek, termasuk kesenjangan akses dan kualitas, ketidaksesuaian kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja, serta rendahnya kompetensi tenaga pendidik.
1.1 Kesenjangan Akses dan Kualitas
Salah satu isu utama dalam pendidikan Indonesia adalah kesenjangan akses dan kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa siswa di daerah pedesaan sering kali tidak memiliki akses terhadap infrastruktur pendidikan yang memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, atau koneksi internet. Sebaliknya, siswa di kota-kota besar memiliki akses yang lebih baik ke fasilitas ini, sehingga menciptakan ketimpangan yang signifikan dalam hasil belajar.
Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya distribusi guru yang merata. Daerah terpencil sering kali mengalami kekurangan guru berkualitas, terutama untuk mata pelajaran inti seperti matematika dan sains. Beberapa wilayah bahkan masih mengandalkan guru honorer tanpa pelatihan yang memadai, sementara di kota-kota besar terdapat kelebihan tenaga pendidik. Masalah ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berorientasi pada pemerataan (Wijayanti., dkk. 2024).
Selain itu, kesenjangan ini juga terkait erat dengan faktor sosial-ekonomi. Anak-anak dari keluarga miskin lebih cenderung putus sekolah akibat biaya pendidikan, meskipun pemerintah telah mengimplementasikan program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, efektivitas program ini masih terbatas karena tidak disertai dengan upaya komprehensif untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang melayani siswa kurang mampu.
1.2 Kurikulum yang Kurang Adaptif
Kurikulum Indonesia juga menjadi sorotan karena dinilai kurang adaptif terhadap kebutuhan dunia kerja modern dan tantangan global. Kurikulum saat ini sering kali dianggap terlalu luas tetapi tidak mendalam, dengan beban materi yang tidak relevan terhadap kompetensi yang dibutuhkan di era digital dan revolusi industri 4.0.
Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Vietnam berhasil menanamkan penguasaan kompetensi dasar, seperti matematika dan sains, sejak pendidikan dasar. Sebaliknya, kurikulum di Indonesia masih terlalu fokus pada hafalan daripada pengembangan keterampilan kritis, analitis, dan kreatif. Hal ini menyebabkan lulusan Indonesia kurang siap untuk bersaing dalam pasar kerja internasional yang semakin mengutamakan inovasi dan adaptabilitas. Revisi kurikulum, seperti penerapan Kurikulum Merdeka, telah menunjukkan niat untuk memperbaiki masalah ini. Namun, implementasinya sering kali menghadapi tantangan, seperti kurangnya pelatihan bagi guru untuk memahami dan menerapkan kurikulum baru. Selain itu, disparitas implementasi antara sekolah-sekolah di daerah maju dan terpencil semakin memperparah ketimpangan kualitas pendidikan (Sulastri., dkk. 2023).