Pendidikan saat ini ada telah memasuki era new normal. Di mana memiliki kebiasaan baru dalam melaksanakan pembelajaran, seperti belajar secara daring (online), sehingga mau tidak mau melaksanakan pendidikan secara jarak jauh. Padahal sebelumnya, sekolah menghindari menerapkan pembelajaran berbasis teknologi informasi. Sebab, merasa tidak memiliki dukungan yang cukup dalam hal biaya, fasilitas, dan kompetensi guru. Banyak orang tua siswa yang sebelumnya menitipkan sebagian besar tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah, kini menerimanya kembali.
Memasuki new normal, beberapa daerah menyambut rencana ini dengan beragam. Daerah-daerah yang kondisinya dinilai sudah hijau menyatakan siap membuka kembali pembelajaran di sekolah. Sementara daerah yang masih terkategori kuning atau merah, tegas menyatakan penundaan dan memilih opsi pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring.
Pandemi ini membawa angin perubahan yang menuntut revolusi mental dari umat manusia pada segala lini usia di dunia khususnya Indonesia. Lebih khusus lagi pemangku kepentingan pendidikan. Melalui kebijakan pembelajaran daring tersebut, banyak pihak terkait yang terlihat belum siap. Ini dapat kita lihat dari sisi penguasaan IT pendidik, ekonomi siswa, jangkauan teknologi menurut letak geografis, dan lain-lain.
Kurikulum Menurut Emile Durkheim
Dalam kajiannya mengenai pendidikan dan kurikulum, Durkheim melihat bahwa generasi tua memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengajarkan tentang kehidupan sosial kepada generasi muda. Dengan kata lain, akan tercipta transmisi kebudayaan yang terjadi di dalam masyarakat. Kebudayaan yang ditransmisikan oleh masyarakat diharapkan akan menghasilkan individu yang ideal bagi masyarakat tersebut. Selain menghasilkan idealisme, transmisi kebudayaan juga memiliki tujuan jangka panjang, yaitu terciptanya keteraturan sosial yang tertib dan harmonis. Dalam hal ini, sekolah menjadi salah satu sarana untuk menciptakan keteraturan sosial di masyarakat.Selain berbicara tentang transmisi kebudayaan, Durkheim melihat bahwa keseluruhan pendidikan yang dijalankan masyarakat merupakan suatu pendidikan moral. Menurut Durkheim, moralitas dapat diartikan sebagai suatu kumpulan tugas dan kewajiban yang dapat memengaruhi perilaku individu. Adapun pendidikan dalam hal ini berusaha menciptakan sekaligus mempertahankan konsensus dan solidaritas dalam masyarakat yang semakin kompleks dan heterogen dengan menanamkan nilai-nilai moralitas di dalam masyarakat. Moralitas yang dibentuk dalam sekolah akan memengaruhi perilaku individu dalam merefleksikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, moralitas menjadi pondasi utama dalam masyarakat.
Durkheim juga mengkaji tentang konsep kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Hal tersebut tertuang di dalam bukunya yang berjudul “Moral Education”. Di dalam sekolah terdapat sebuah sistem aturan yang mewajibkan siswa harus datang ke kelas secara teratur dan tepat waktu. Siswa juga harus menaati segala peraturan yang dibuat di sekolah. Selain itu, siswa juga harus mengerjakan tugasnya secara disiplin dan mandiri. Semua kegiatan tersebut dilakukan agar mampu menciptakan siswa yang bermoral baik di masyarakat. Hal inilah yang mendasari Durkheim dalam mengkaji tentang kurikulum tersembunyi di sekolah.
Kurikulum Pendidikan Formal di Era New Normal
Pendidik/Guru harus memastikan kegiatan belajar mengajar tetap berjalan meskipun peserta didik berada di rumah, inovasi pembelajaran merupakan solusi yang perlu didesain dan dilaksanakan oleh guru dengan memaksimalkan media yang ada seperti media daring (online). Guru dapat melakukan pembelajaran menggunakan metode e-learning yaitu pembelajaran memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Sistem pembelajaran dilaksanakan melalui perangkat komputer (PC) atau laptop yang terhubung dengan koneksi jaringan internet, guru dapat melakukan pembelajaran bersama diwaktu yang sama menggunakan grup di media sosial seperti Whatsapp (WA), telegram, aplikasi Zoom ataupun media sosial lainnya sebagai sarana pembelajaran sehingga dapat memastikan siswa belajar di waktu yang bersamaan meskipun di tempat yang berbeda. Guru juga dapat memberikan tugas terukur namun tetap memastikan bahwa tiap hari pembelajaran peserta didik terlaksana tahap demi tahap dari tugas tersebut. Banyak lagi inovasi lainnya yang bisa dilakukan oleh pendidik demi memastikan pembelajaran tetap berjalan dan siswa mendapatkan ilmu sesuai kurikulum yang telah disusun pemerintah.
Kepala Sekolah juga harus berinovasi dalam menjalankan fungsi supervisi atau pembinaan kepada guru untuk memastikan bahwa kegiatan belajar mengajar telah dilakukan oleh guru dan peserta didik meskipun menggunakan metode jarak jauh (daring). Kepala sekolah juga dapat memberikan solusi dan motivasi kepada guru di sekolah, sehingga guru-guru yang belum siap memanfaatkan media daring dapat disupervisi dan diberi solusi. Untuk pengawas sekolah dibawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kota dan Kabupaten juga dapat berinovasi agar tetap menjalankan pengawasan dan tujuan dari supervisinya dapat berjalan dengan baik meskipun tidak harus selalu bertatap muka.
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya yang tertuang di dalam tujuan kurikulum Pendidikan Indonesia yakni kurikulum tahun 2013 revisi 2016 mencakup empat kompetensi, yaitu (1) Kompetensi sikap spiritual, (2) Sikap sosial, (3) Pengetahuan, dan (4) Keterampilan. Kompetensi tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau ekstrakurikuler. Rumusan Kompetensi Sikap Spiritual yaitu menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Adapun rumusan Kompetensi sikap sosial yaitu menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, toleransi, gotong royong, santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Kedua kompetensi tersebut akan membentuk karakter peserta didik dan dapat dicapai melalui pembelajaran tidak langsung yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Kondisi saat ini dimana anak harus belajar dari rumah tidak memungkinkan bagi guru untuk membangun karakter peserta didik secara langsung ataupun melalui tidak langsung seperti di sekolah. Pendidikan karakter melalui pembelajaran jarak jauh saat ini dianggap minim oleh para orang tua peseta didik, meskipun pembelajaran jarak jauh ini difasilitasi oleh teknologi yang memadai. Meskipun guru harus mengajar dari jarak jauh, namun para orang tua masih sangat percaya bahwa pendidikan karakter di bawah bimbingan guru tetap diperlukan demi terciptanya tujuan pendidikan nasional sesuai amanah UUD tahun 1945.
Menurtu Thomas Lickona menekankan dalam pendidikan karakter harus memiliki tiga komponen karakter yang baik yang disepakati secara global, yaitu: (1) Memiliki pengetahuan tentang moral dan etika dalam bermasyarakat; (2) Memiliki perasaan yang sesuai dengan moral; (3) Melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan nilai- nilai moral. Ketiga karakter ini berlaku secara global di seluruh dunia secara fitrah manusia. Untuk mencapai ketiga karakter ini diperlukan tiga tempat pendidikan yang bekerja secara bersamaan yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.
Keberhasilan pendidikan karakter mengisyaratkan bahwa pembelajaran tidak serta merta dilihat dari perspektif ranah kognitif saja melainkan keseimbangan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang muaranya adalah mewujudkan manusia seutuhnya. Kondisi pandemi Covid-19 saat ini menjadi tantangan bagi dunia Pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan formal dalam upaya penguatan pendidikan karakter bangsa. Pembelajaran dominan tidak dilakukan dengan tatap muka, sehingga menjadi tantangan guru dalam proses pendidikan karakter tersebut. Disisi lain akan memberikan kesempatan bagi peserta didik dalam mempraktekan nilai-nilai karakter di masyarakat dalam upaya keikutsertaan pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
Adaptasi Pendidikan di Era New Normal
Pendidikan di era new normal akan membawa banyak perubahan, terutama pada proses integrasi teknologi digital dalam proses belajar mengajar. Sebenarnya teknologi digital sudah cukup digunakan dalam dunia pendidikan sebelum pandemi COVID-19 terjadi, namun penggunaannya tidak semasif hari ini. Berbeda dengan BINUS Online Learning yang sudah menggunakan teknologi digital untuk proses perkuliahannya.
Jika dahulu teknologi digital di bidang pendidikan hanya digunakan sebagai alat pendukung, saat ini teknologi digital digunakan sebagai instrumen yang utama. Pentingnya integrasi teknologi digital dan manfaatnya pada aktivitas pendidikan kini dapat terlihat dari bagaimana fitur-fiturnya menjawab kebutuhan di sektor pendidikan saat ini. Apalagi di era new normal seperti ini, baik pengajar maupun mahasiswa-mahasiswi bergantung pada perangkat teknologi digital agar dapat tetap terhubung.
Cepat atau lambat, setiap daerah di Indonesia akan mulai mengadaptasi teknologi digital dalam aktivitas pendidikan mereka. Oleh sebab itu, tuntutan untuk jadi lebih fasih dengan teknologi akan semakin besar.
Baik pengajar maupun pelajar harus berpacu untuk segera beradaptasi dengan fitur-fitur teknologi digital yang terus menerus diperbarui. Hal ini memang tidak sulit dilakukan bagi yang sudah terbiasa dengan teknologi, tetapi lain halnya untuk mereka yang baru bersentuhan dengan teknologi. Mereka membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk paham fungsi dan cara menggunaka teknologi digital dengan baik demi proses belajar-mengajar berjalan dengan lancar.
Terbuka dengan teknologi digital juga memberikan kesempatan untuk belajar lebih banyak dan juga menemukan hal-hal baru, seperti mengakses sumber informasi non-formal yang berasal dari podcast atau video dokumenter. Dari sini mahasiswa dapat menemukan perspektif atau gagasan baru yang jarang ditemukan di buku-buku yang ilmiah. Mengikuti perkembangan teknologi digital juga membuat Anda menjadi lebih adaptif di era yang terus berubah ini.
Komunikasi di era new normal akan lebih banyak menggunakan medium perantara, baik itu berupa panggilan telepon atau video conference, karena interaksi langsung jelas masih dibatasi. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada inovasi lanjutan untuk memungkinkan ruang-ruang komunikasi yang terbatas ini jadi terasa lebih riil.
Berkomunikasi via medium teknologi digital jelas berbeda saat berkomunikasi di ruang obrolan riil. Itu sebabnya, kebiasaan ini secara tidak langsung akan mengasah keterampilan berkomunikasi. Saat berkomunikasi langsung secara tatap muka terdapat banyak aspek non-verbal yang dapat mendukung Anda untuk memahami konteks percakapan itu sendiri, mulai dari ekspresi wajah, gesture tubuh, dan kondisi lingkungan sekitar.
Sementara saat berkomunikasi dengan medium tertentu, aspek-aspek non-verbal ini cenderung terbatas dan dapat berpotensi pada kesalahpahaman. Dengan teks, Anda tidak dapat memastikan tone dari pernyataan di dalam pesan. Dalam panggilan telepon, Anda tidak dapat menelaah ekspresi wajah. Lalu dalam video call, Anda hanya mendapat visual tetapi tidak benar-benar mengetahui situasi di sana. Itu sebabnya mereka yang berkomunikasi dengan medium teknologi cenderung harus mengasah keterampilan komunikasi karena memiliki banyak keterbatasan.
Di era new normal saat ini dunia pendidikan dipaksa oleh keaadaan beradaptasi dengan cepat. Mendikbud sudah mengeluarkan pernyataan bahwa masing-masing sekolah mulai menyiapkan diri dalam penyelenggaraan pendidikan di era new normal. Masa-masa transisi pembelajaran masih menggunakan metode online. Penerapan physical distancing sebagai faktor utama new normal menjadi tantangan tersendiri bagi di dunia pendidikan, yang biasanya mempertemukan pendidik dengan siswa dalam proses belajar mengajar tatap muka. Karena itu sekolah wajib mencari solusi terkait bagaimana proses belajar mengajar di era new normal bisa tetap dilangsungkan, tanpa mengabaikan peran guru sebagai pengajar. Selain itu, peran penting juga dimiliki Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang perlu banyak belajar dari negara lain. Hal-hal yang baik bisa diadopsi di Indonesia, atau menciptakan inovasi baru yang bisa disesuaikan dengan kondisi di daerah mengingat demografis dan geografis Indonesia Hambatan-hambatan proses belajar secara online seperti fasilitas teknologi, jaringan internet, kesiapan pendidik dan konten belajar yang baik harus segera dicarikan solusinya.
Dalam membangun insan cerdas, disiplin dan berkarakter dimulai dari pendidikannya yang ber kualitas dan para pengajarnya yang profesinal dalam mengajar. Pentingnya kedisiplinan yang harus di terapkan pada setiap institusi pendidikan dan individu agar nantinya setiap pelajar memiliki rasa tanggung jawab besar sebagai pelajar. Memang semua itu tidak bisa di terapkan pada semua institusi dan individu dalam hal ini pelajar, tergantung pada ke ketaatan dan ke rajinan para pelajar.
Kedisiplinan sangatlah penting bagi para pelajar, disiplin bukan hanya untuk menjalankan segala aturan sesuai dengan waktunya melainkan untuk meningkatkan tingkat keberhasilan yang tinggi. Contohnya disiplin waktu, seorang pelajar yang menjalankan aktivitas dengan disiplin Ia cenderung akan menghargai waktu dan mengerjakan tugas sesuai waktu yang di tetapkan. Disiplin dalam belajar, para pelajar akan membagi jadwal belajar, sehingga dalam menjalankan aktivitas belajar para pelajar bisa mebagi mana yang di prioritaskan terlebih dahulu. Untuk itu para pelajar di tuntut untuk menjadikan kedisiplinan sebagai budaya dalam meraih keberhasilan.
Menurut Durkheim, sebagaimana yang dikutip dalam Hidayat (2014), kedisiplinan merupakan bentuk kehidupan kolektif ideal yang menjadi fakta moral dalam masyarakat, sehingga dapat dipahami dan dipraktikkan secara seimbang dan menyeluruh. Sementara itu, menurut Giddens, sebagaimana yang dikutip dalam Hidayat (2014), kedisiplinan memiliki kaitan dengan kebebasan individu yang berlandaskan pada kesadaran diri individu secara alamiah. Dengan demikian, kedisiplinan dapat bersifat internal sekaligus juga bersifat eksternal dalam mengatur individu pada masyarakat.
Dalam meningkatkan kedisiplinan peran institusi pendidikan, pengajar dan orang tua sangatlah di butuhkan, peran institusi pendidikan dalam hal ini sekolah, harus menjalankan prosedur dan aturan-aturan yang telah di buat harus di jalankan sebagai mana mestinya. Peran pengajar harus memberikan contoh yang baik terhadap murid atau pelajar, untuk tidak datang terlambat mengajar dan keluar jam selesai mengajar sesuai waktu yang telah di tentukan, sehingga para pelajar akan menjadikan para pengajar sebagai ‘role model’ bagi dirinya. Peran orang tua harus mengawasi tingkat kedisiplinan anaknya. Dari ketiga tersebut nantinya ada keterkaitan dan akan memberikan efek yang positif bagi kemajuan serta peningkatan prestasi. Pengaruh kedisiplinan akan menjadikan para pelajar memiliki tujuan yang jelas, karena kedisiplinan merupakan indikator bagi keberhasilan dan kesuksesan seseorang.
Referensi
- Abdulah, Taufik dan A.C. van Der Leeden (Penyunting). 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- CIVITAS International. 2006. Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education
- Cogan J.J. and Derricott , B.J. 1998. Miltidemensional Civic Education. Tokyo: Kogan Page.
- Dawi, Amir Hasan. 2006. Penteorian Sosiologi dan Pendidikan. Perak-Malaysia: Quantum Books.
- Depdiknas RI. 2003. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.
- Ginting, Lukas. (Alih bahasa). 1990. Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Jakarta: Erlangga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI