Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (yang saat ini dipecah menjadi Kementrerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan) sebagai wali data lahan kritis telah menerbitkan angka lahan kritis di Indonesia pada tahun 2022 adalah seluas 12.744.925 Ha. Angka ini terdiri luasan lahan kritis di dalam  Kawasan seluas 7,4 juta ha  dan di luar Kawasan hutan seluas 5,3 juta ha. Dengan asumsi kebutuhan bibit sejumlah 1000 batang/ha, maka dibutuhkan + 13 milyar batang bibit tanaman untuk ditanam di seluruh area lahan kritis tersebut
Di sisi lain, Kementerian Kehutanan cq Ditjen Pengelolaan DAS dan Rehabiitasi Hutan setiap tahun membuat > 100 juta bibit yang tersebar di  seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, dengan jumlah bibit yang mampu disediakan Pemerintah dan dengan asumsi bahwa semua tanaman yang ditanam tumbuh, dibutuhkan 130 tahun untuk menyelesaikan permasalahan lahan kritis melalui rehabilitasi hutan dan lahan khususnya penanaman. Apabila kita mengggunakan asumsi prosentase tumbuh tanaman 80%, maka dibutuhkan waktu >150 tahun untuk menanami 12,7 juta lahan kritis di Indonesia
Asumsi diatas akan sangat sulit dipenuhi, atau dengan kata lain, persoalan lahan kritis tidak akan selesai dengan mengandalkan upaya Pemerintah dalam menyediakan bibit tanaman. Semua pihak perlu berpartisipasi dalam penyelesaian permasalah lahan kritis ini, baik Pemerintah Pusat dann Daerah maupun swasta dan masyarakat. Dalam posisi ini, dikenal mekanisme rehabilitasi DAS oleh swasta dan juga bentuk2 rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) lainnya yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat.
Ada dua pertanyaan besar yang harus dijawab ketika kita melakukan rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu; 1. Kita menanam di dalam Kawasan atau di luar Kawasan? Dan 2. Setelah menanam, siapa yang akan mengelola tanaman hasil RHL yang kita tanam tersebut? Pertanyaan diatas merupakan bagian dari pemebelajaran atas upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan Pemerintah (cq Kementerian Kehutanan) sejak tahun 1976.
Pertanyaan pertama tentang lokasi RHL sangat menentukan jenis, jumlah  dan pola tanam yang akan dilakukan.Â
Adapun pertanyaan kedua, Â akan menentukan keberhasilan RHL tersebut, mengingat tanaman adalah makhluk hidup, sedangkan upaya RHL yang dilakukan saat ini hanya sampai dengan tahun ke 3 (tahun 1 penanaman, tahun 2 pemeliharaan 1 dan tahun 3 adalah pemeliharaan akhir). Pemeliharaan hanya dilakukan sampai dengan tahun ke 3 dengan asumsi bahwa tanaman kayu cukup beradaptasi dengan baik dan tidak lagi memerlukan pemeliharaan (mengesampingkan kemungkinan hama dan penyakit tanaman). Untuk pertanyaan kedua, akan menjadi sangat penting karena akan menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola tanaman hasil RHL, baik dalam bentuk pemeliharaan lanjutan (pruning/pemangkasan cabang) sampai dengan pemanenannya (atau siapa yang akan menikmati hasil tanaman RHL tersebut)
Tulisan ini akan lebih banyak membahas pertanyaan pertama, yaitu lokasi penanaman RHL, apakah di dalam ataukah di luar Kawasan. Pola tanam RHL dapat dibedakan dalam 2 pola tanam, yaitu murni dan agroforestry. Pola tanam murni artinya, pada area tersebut, ditanam satu jenis tanaman (monokultur). Keuntungan pola tanam murni ini tentu saja kemudahan pengelolaannya, mulai dari tanam sampai dengan panen. Kerugiannya, hasil tanaman RHL pola monokultur, akan lebih rentan terserang hama dan penyakit.
Pola Agroforestry (AF) adalah pola penanaman campuran antara tanaman tahunan (kayu dan atau buah) dengan tanaman semusim (semusim).  Dalam analisis ekonomi, keuntungan finansial dari pola agroforestry lebih rendah dari RHL pola murni. Akan tetapi keuntungan ekonomi nya lebih tinggi, karena dalam pola AF, masyarakat merasa memiliki tanaman (tahunan dan semusim) sehingga mereka total dalam melakukan pemeliharaan tanaman karena mereka berpikir bahwa mereka akan menerima hasilnya di akhir daur, dan disamping itu, tanaman semusim  yang ditanam dala pola AF adalah tanaman yang dapat dipetik hasilnya harian ataupun bulanan. Artinya dengan pola AF, ada ketergantungan antara pemilik dan atau pengelola lahan dengan tanaman yang dikelolanya.
Pola AF ini biasanya diterapkan pada area milik masyarakat. Di beberapa tempat, pola AF juga diterapkan pada RHL di Kawasan hutan, terutama Kawasan hutan yang dekat dengan pemukiman dan telah berkonflik bertahun-tahun, atau, upaya rehabilitasi yang dilakukan di area tersebut selau gagal.
Salah satu contoh keberhasilan AF di Kawasan hutan yang berkonflik adalah upaya RHL di kawasan hutan lindung register 38 Gunung Balak, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Pembukaan hutan lindung di area ini sudah terjadi sejak tahun 1935 dan semakin meluas yang berdampak pada tuntutan masyarakat agar Kawasan hutan lindung gunung balak dilepaskan statusnya dari Kawasan hutan. Upaya RHL yang dilaksanakan di area tersebut (bahkan pernah dilakukan melalui program ABRI Manunggal Reboisasi) tidak pernah berhasil. Persoalan hutan lindung Gn Balak Lampung Timur adalah salah satu persoalan yang cukup ramai dibicarakan dalam upaya pengelolaan Kawasan hutan.
Tahun 2021, BPDASHL Way Seputih Sekampung, mulai melakukan kegiatan RHL di area register 38 tersebut. Upaya ini diawali dengan prakondisi, inklusifitas, penetapan lokasi dan penggarapnya dan penanaman serta pemeliharaan. Satu hal yang membedakan upaya RHL di area ini adalah penggunaan jenis tanaman multi guna (alpokat lokal  siger dan pinang) serta tanaman semusim (jagung) dengan pola Agroforestry
Upaya ini terbukti diterima masyarakat dan konflik yang berkepanjangan dapat dikatakan sudah dapat diakhiri. Kesimpulan ini diambil karena, 1. Masyarakat langsung memperoleh manfaat ekonomi  berupa hasil jagung dan alpokat (bahkan saat ini sudah di ekspor keluar wilayah Lampung) dan yang ke 2. Masyarakat memperoleh kesempatan untuk mengajukan ijin perhutanan social untuk mengelola Kawasan tersebut.
Catatan BPDAS Way Seputih Sekampung menunjukkan bahwa AF dengan jenis alpukat akan mampu menghasilkan Laba bersih sebesar Rp. 1,312,411,274 per hektar dengan jumlah tanaman 400 batang per hektar. Angka yang cukup menggiurkan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Akan tetapi prestasi yang paling penting dari upaya agroforestry di  register 38 Gn Balak bukan sekedar nilai finansial panen buah alpukat, tapi pada terselesaikannya konflik menahun dengan masyarakat.  Collaborative management di Gunung Balak dapat dijadikan model pemberdayaan yang mengakomodit berbagai kepentingan sebagai solusi konflik antara masyarakat dan pengelola Kawasan hutan
Namun perlu dicatat bahwa pola penanganan konflik di setiap wilayah dapat berbeda-beda. Catatan besarnya adalah penggunaan pola AF dapat meningkatkan keberhasilan RHL dan mengatasi konflik, tapi pendekatan yang berbeda diperlukan untuk daeran dan kasus yang berbeda. Kesimpulannya jelas, Â AF terbukti dapat meningkatkan keberhasilan aforestasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H