Siapa yang tidak tau Rachel Vennya? Sosok influencer muda yang baru-baru ini saja viral karena kasus dirinya yang diusir dari villa di daerah Bali. Ibu dua anak ini memiliki followers 7,6 juta di akun instagramnya dan sangat aktif membagikan postingannya di media sosial, entah itu tentang kehidupan pribadinya ataupun endorsement. Memanfaatkan jumlah pengikutnya yang fantastis, ia kerap mempromosikan brand-brand ternama bahkan UMKM yang baru mulai merintis dengan kategori yang bermacam-macam mulai dari baju, makanan, hingga skincare. Promosi tersebut dilakukannya dengan mengenakan tarif endorse atau yang biasa disebut ratecards dimana telah ditetapkan oleh manajemennya. Dari sumber yang beredar di tahun 2021, Rachel Vennya mematok harga mulai dari 45 juta sampai dengan 150 juta.
Influencer seperti Rachel Vennya menjadi salah satu profesi yang cukup menghasilkan banyak uang melalui endorsement yang ia lakukan. The Economic Times mendefinisikan endorse atau endorsement sebagai bentuk periklanan dengan menggunakan tokoh terkenal yang diakui, dipercaya, dan mendapat rasa hormat dari orang-orang. Lalu pertanyaannya, apakah influencer dikenai pajak penghasilan? Jika iya, bagaimana ketentuannya? Bagaimana pengawasannya?
Sesuai dengan, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013, tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce, endorsement termasuk ke dalam salah satu bentuk model bisnis classified ads. Classified ads adalah kegiatan yang menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang konten (teks, grafik, video penjelasan, informasi, dan lain-lain) barang dan/atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads.
Seorang influencer akan dikenakan PPh Pasal 21 atau 23 tergantung apakah ia bergabung dengan agensi atau bekerja pribadi. Apabila influencer ini tergabung dalam sebuah agensi atau badan, tarif endorsement akan dikenakan PPh 23. Pemotongan pajak akan dikelola oleh perusahaan baru diteruskan ke influencer terkait. Besaran pajak yang dikenakan di PPh Pasal 23 adalah sebesar 15% dan 2% tergantung dari objeknya. Kemudian, untuk influencer yang tidak dinaungi sebuah badan dikenakan PPh 21.
Dasar Penghitungan Pajak (DPP) influencer sebagai WP OP tidak berbeda dengan profesi lain. Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, penghasilan influencer juga dikurangi terlebih dahulu dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sesuai dengan statusnya. Berdasarkan PMK Nomor 101/PMK.010/2016 Tahun 2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, besaran PTKP adalah sebagai berikut:
PTKP WP Orang Pribadi = Rp 54.000.000 setahun
Tambahan PTKP untuk WP yang menikah (tanpa tanggungan) = Rp 4.500.000 setahun
Tambahan PTKP untuk setiap keluarga sedarah atau anak yang menjadi tanggungan = Rp 4.500.000 setahun
PTKP istri yang penghasilannya digabung dengan suami = Rp 54.000.000 setahun
Selanjutnya, DPP Berdasarkan UU Harmonisasi PPh, tarif PPh yang berlaku adalah tarif pajak progresif, sebagai berikut:
Penghasilan Rp 0 - Rp 60 juta dikenakan tarif 5%
Penghasilan Rp 60 juta - Rp 250 juta dikenakan tarif 15%
Penghasilan Rp 250 juta - Rp 500 juta dikenakan tarif 25%
Penghasilan Rp 500 juta - Rp 5 miliar dikenakan tarif 30%
Penghasilan lebih dari Rp 5 miliar dikenakan tarif 35%
Besarnya penghasilan influencer menjadi salah satu sumber potensi pajak yang bisa digali. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008, dengan cara dan dalam bentuk apapun, sesuatu yang bernilai ekonomis dan menghasilkan suatu penghasilan wajib dilaporkan atas hasil dari kegiatan tersebut. Endorsement termasuk dalam kategori tersebut. Namun, masih banyak influencer yang belum teredukasi sehingga tidak tau ada pemungutan pajak dalam aktivitas endorsement yang mereka lakukan.
Menanggapi banyaknya influencer yang bermunculan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan membuat inovasi SONETA (social network analytics system) yang mengawasi pengenaan pajak penghasilan terhadap youtubers dan influencer. Sistem ini dirancang untuk mengawasi aktivitas yang dilakukan oleh para influencer, seperti halnya mempromosikan produk, memamerkan harta kekayaan di media sosial, serta memiliki penghasilan di platform media sosial tertentu. DJP juga memiliki satuan tim khusus yang bertugas untuk menggali potensi penerimaan pajak yang bersumber dari ekonomi digital, terutama yang berasal dari pelaku ekonomi digital atau influencer.
Pengawasan pada pelaku ekonomi digital yang dilakukan oleh DJP menjadi hal yang penting untuk dilakukan supaya negara ini tidak kehilangan potensi pajak yang dimilikinya. Bayangkan saja dalam kasus Rachel Vennya, misalkan untuk setiap postingan instragram story ia mematok harga 12 juta, sedangkan dalam satu hari Rachel Vennya bisa mempromosikan 2 – 3 merk. Itu hanya pendapatan dari Instagram, belum ditambah apabila ia aktif di media sosial lainnya, seperti tiktok dan youtube. Dari sini dapat kita perkirakan jumlah penghasilan per tahun yang diperoleh sangatlah besar.
Perpajakan sebagai sumber penerimaan negara salah satunya berfungsi sebagai redistribusi. Dengan adanya regulasi dan inovasi pengawasan ini, diharapkan penerimaan perpajakan dapat meningkat dan bisa mewujudkan redistribusi yang baik mampu memberikan kontribusi untuk orang-orang yang kekurangan sehingga dapat meminimalkan kesenjangan serta tercipta kesejahteraan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H