Mohon tunggu...
Ayub Wahyudin
Ayub Wahyudin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Bukan Anak dari Trah Ningrat, Maka Menulis untuk menjadikan Hidup Lebih Bermartabat!!

Penulis Buku Bajik Bijak Kaum Sufi, Pemuda Negarawan, HARMONI LINTAS MAZHAB: Menjawab Problem Covid-19 dalam Ragam Perspektif. Beberapa tulisan opini terbit di Kompas.id, Koran Tempo, Detik.com, Republika.id, serta beberapa tulisan di jurnal Ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wisata Kelam si Kambing Hitam

16 November 2024   07:53 Diperbarui: 16 November 2024   07:58 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SETIAP orang, pada akhirnya, merindukan jeda dari rutinitas yang menyiksa. Salah satu cara terbaik untuk menemukan pelarian itu adalah dengan berwisata. Henry David Thoreau pernah berkata, 'Mata kita perlu berkelana agar kembali jernih.' Di tengah hiruk-pikuk kehidupan, wisata menjelma menjadi oase yang menyegarkan, tempat di mana kita bisa menghirup kebebasan dan merasakan ketenangan yang jarang kita temui. Jauh dari penatnya keseharian yang terus mengikis energi, perjalanan ini adalah cara bagi kita untuk kembali memulihkan diri dan menemukan Bahagia.

Namun, apa jadinya jika pelarian menuju wisata justru menghadirkan masalah baru. Misalnya di kawasan Puncak, kemacetan yang menyesakkan telah menjadi pemandangan yang lumrah saat musim liburan. Ribuan kendaraan berjejal di jalanan, sementara wisatawan terpaksa menghabiskan berjam-jam, bahkan hingga 17 jam, terperangkap dalam antrean panjang yang tiada akhir. Seorang pelancong asal Jakarta, dalam kisahnya yang penuh keputusasaan, menggambarkan perjalanan penuh siksaan kemacetaan. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang ibu terpaksa membentangkan kain di samping kendaraannya, mencari privasi dalam situasi yang memalukan, sekedar buang hajat. Sementara yang lainnya, terpaksa menahan lapar dalam kemacetan yang tak kunjung terurai.

Dalam peristiwa yang lebih memilukan, satu nyawa melayang di tengah kemacetan yang mencekam. Zainal, seorang wisatawan yang terjebak dalam arus tersebut, menyaksikan bagaimana sepeda motor nekat melawan arus, mencoba mendaki saat sistem satu arah (one way) yang diberlakukan, menghalangi kendaraan yang turun, akibat prustasi dalam desakan dan ketidakpastian, (Kompas.com:16/09/2024). Kisah-kisah kecil ini menggambarkan bagaimana pelarian ke tempat wisata, memberi kesan buruk bagi para pelancong

Rencana dan Fakta: Ketidakpastian Solusi

Satlantas Polres Bogor mencatat sebanyak 140 ribu kendaraan melintas di jalur wisata Puncak hanya dalam 24 jam ketika insiden terjadi (tvonenews.com: 18/09/2024). Menanggapi situasi ini, Kemenkraf mengusulkan beberapa metode, termasuk pengembangan moda transportasi publik alternatif. Selain itu, Pemkab Cianjur juga merencanakan jalur Puncak Dua sebagai bagian dari upaya meningkatkan kapasitas jalan. Dalam pencarian solusi lain untuk mengatasi kemacetan, Kemenparekraf tengah menjajaki pengembangan kereta gantung (cable car) di kawasan Puncak, yang diharapkan dapat memberikan alternatif perjalanan yang lebih efisien bagi para wisatawan, serta mengurai kemacetan.

Solusi yang ditawarkan tersebut tentu tidak serta merta bisa mengatasi problem yang terjadi, misalnya kegagalan yang terjadi pada proyek pengembangan kereta gantung di Jakarta. Meskipun awalnya diharapkan dapat menjadi alternatif transportasi publik yang efektif, proyek ini terhambat oleh berbagai kendala, termasuk masalah pendanaan dan perizinan. Selain itu, integrasinya dengan sistem transportasi yang sudah ada tidak direncanakan dengan baik, sehingga menyebabkan ketidakpastian dan frustrasi di kalangan masyarakat. Akibatnya, rencana ini tidak kunjung terealisasi, meskipun kebutuhan akan solusi transportasi alternatif di ibu kota sangat mendesak hingga saat ini.

Contoh lain dapat dilihat dalam proyek pembangunan jalur TransJakarta, yang dirancang untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Meskipun berhasil di beberapa koridor, banyak rute yang tidak terintegrasi dengan baik dengan moda transportasi lain, seperti kereta komuter dan angkutan umum lokal. Hal ini menciptakan ketidaknyamanan bagi penumpang, yang berdampak pada penurunan jumlah pengguna. Di sisi lain, dalam konteks pariwisata di Bali, pembangunan infrastruktur sering kali dilakukan tanpa melibatkan masukan masyarakat lokal, yang mengakibatkan dampak lingkungan negatif, seperti pencemaran dan kerusakan ekosistem. Kegagalan-kegagalan ini menegaskan pentingnya perencanaan yang matang dan keterlibatan masyarakat dalam memastikan efektivitas solusi yang diusulkan untuk mengatasi kemacetan dan meningkatkan pengalaman wisata.

Kegagalan: Kambing Hitamkan Masyarakat

Usulan dari Kemenkraf dan Pemkab Cianjur untuk mengembangkan infrastruktur dan moda transportasi publik di kawasan Puncak patut diapresiasi sebagai langkah positif dalam mengatasi masalah kemacetan dan meningkatkan pengalaman wisata. Rencana untuk memperkenalkan jalur Puncak Dua serta kereta gantung mencerminkan upaya inovatif untuk menciptakan alternatif yang lebih efisien bagi para wisatawan. Dengan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, inisiatif ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan lalu lintas dan dampak negatif terhadap lingkungan.

Namun, efektivitas dari solusi yang diusulkan masih patut dipertanyakan. Tanpa adanya perencanaan yang matang dan analisis dampak yang komprehensif, rencana ini berisiko menjadi tidak efektif dalam jangka panjang, dan ketidakpuasan yang muncul bisa dengan mudah diarahkan kepada masyarakat lokal. Dalam banyak kasus, ketika proyek gagal atau tidak memenuhi harapan, masyarakat setempat sering kali dijadikan kambing hitam, seolah-olah mereka bertanggung jawab atas masalah yang sebenarnya lebih kompleks dan sistemik.

Keterlibatan masyarakat lokal dalam proses perencanaan sangat penting untuk memastikan bahwa kebutuhan dan harapan mereka terpenuhi, serta untuk mencegah penyalahan yang tidak adil. Jika suara mereka diabaikan dan masalah pendanaan serta sumber daya tidak dipertimbangkan dengan serius, solusi yang diusulkan dapat berujung pada kegagalan yang sama seperti banyak inisiatif sebelumnya. Dalam situasi tersebut, alih-alih mencari solusi yang konstruktif, perhatian dapat teralihkan untuk mencari kambing hitam, yaitu masyarakat lokal, yang sering kali tidak memiliki kontrol atas keputusan yang diambil oleh pihak pengambil kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun