Siapa yang tak mengenal figur Tarzan. Tentu bukan pelawan terkenal Indonesia. Dalam novel tersebut, Tarzan adalah anak dari seorang bangsawan Inggris, John Clayton, dan istrinya, Alice. Mereka terdampar di wilayah hutan Afrika setelah kapal mereka diserang oleh para pemberontak. Ketika masih bayi, Tarzan kehilangan kedua orang tuanya: ibunya meninggal karena penyakit dan ayahnya dibunuh oleh Kerchak, pemimpin suku kera Mangani.
Setelah kematian orang tuanya, Tarzan diadopsi oleh Kala, induk kera Mangani yang merawatnya dan membesarkannya seperti anaknya sendiri. Di antara kera Mangani, Tarzan belajar bertahan hidup, berburu, dan berkomunikasi dengan hewan-hewan hutan.
Seperti yang digambarkan aslinya, Tarzan atau John Clayton sangat cerdas dan pandai berbicara, dan tidak berbicara dalam bahasa Inggris yang patah-patah seperti yang digambarkan dalam film-film klasik tahun 1930-an. Dia dapat berkomunikasi dengan banyak spesies hewan hutan, dan telah terbukti sebagai seorang impresionis yang terampil, mampu menirukan suara tembakan dengan sempurna.
Sebelum Tarzan bertemu dengan orang yang berbicara bahasa Inggris, dia sudah terbiasa dengan bahasa tersebut. Ketika masih muda, dia menghabiskan waktu di pondok kayu dan belajar dari buku-buku bacaan anak-anak. Dengan semangat belajar yang besar, Tarzan berhasil membaca seluruh koleksi buku ayahnya, yang meliputi topik-topik seperti geografi, sejarah, dan sejarah keluarganya.
Tarzan merupakan sebuah fiksi akan adanya hubungan antara nurture dengan nature dalam hal berbahasa.  Nurture dan nature adalah dua buah teori yang menjadi perdebatan sengit sekitar akhir tahun lima puluhan antara psikolog Harvard dan professor Linguistik M.I.T Noam Chomsky.
Debat tentang peran "nurture" (pengasuhan atau lingkungan) dan "nature" (bawaan atau genetik) dalam pemerolehan bahasa telah menjadi topik yang kontroversial dan mendalam dalam bidang psikolinguistik dan perkembangan manusia. Secara umum, "nurture" mengacu pada pengaruh lingkungan, pengalaman, dan pembelajaran dalam perkembangan bahasa seseorang, sedangkan "nature" mencakup faktor-faktor bawaan seperti predisposisi genetik dan struktur otak.
Pendukung teori "nurture" atau pro B.F Skinner berpendapat bahwa lingkungan sosial, interaksi dengan orang lain, pengajaran, dan pengalaman merupakan faktor utama yang membentuk pemerolehan bahasa. Mereka menunjukkan bahwa anak-anak belajar bahasa dengan meniru dan berinteraksi dengan lingkungan mereka, termasuk orang dewasa dan anak-anak lain. Bukti-bukti dukungan untuk teori ini termasuk penelitian tentang bagaimana anak-anak yang dibesarkan di lingkungan bilingual mengembangkan kemampuan bahasa ganda dan bagaimana anak-anak yang kurang mendapatkan interaksi sosial biasanya mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa.
Di sisi lain, pendukung teori "nature" atau pro Noam Chomsky menyoroti peran predisposisi genetik dan struktur otak dalam pemerolehan bahasa. Mereka menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak dapat memperoleh bahasa dengan cepat dan dengan sedikit instruksi formal, menunjukkan adanya kemampuan bawaan untuk memahami struktur dan aturan bahasa. Bukti dukungan untuk teori ini meliputi penelitian tentang kemampuan bahasa yang dimiliki anak-anak sejak lahir, serta studi tentang kelainan genetik yang memengaruhi kemampuan bahasa.
Namun, penting untuk diingat bahwa kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa pemerolehan bahasa adalah hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor "nurture" dan "nature". Lingkungan sosial, pengajaran, dan pengalaman berinteraksi dengan predisposisi genetik individu dalam membentuk perkembangan bahasa.
Kembali kepada karakter Tarzan yang sejak kecil tidak pernah mendengar dan belajar Bahasa Inggris akhirnya tetap bisa berbahasa Inggris membuktikan secara fiksional kebernaran teori Chomsky. Tarzan tidak lahir seperti piring kosong melainkan telah dibekali sebuah alat Bernama piranti Pemrolehan Bahasa. Piranti itu sendiri bersifat universal .
Namun satu sisi karakter Tarzan juga membuktikan secara fiksional bahwa kemampuannya berbahasa dengan baik yaitu didahului dengan stimulus. Dalam hal ini ia belajar dari kabin kayu ayahnya yang menyimpan koleksi buku-buku ayahnya yang meliputi sejarah, geografi, dan sejarah.
Kasus nyata yang terjadi pada tahun 1970 dimana seorang anak perempuan Genie Wiley yang mendapat siksaan dan isolasi dari ayahnya secara tragis. Sepanjang hari ia hanya duduk telanjang di toilet duduk tanpa berbicara dengan siapapun. Ketika ia berisik ayahnya akan menyiksanya. Setelah ditemukan dan kemudian dilatih berbicara selama delapan tahun, Genie tetap tidak dapat berbahasa seperti manusia lainnya. Walau sudah berumur 13 tahun, Genie masih memiliki otak seperti balita. ia juga tak bisa berbicara dan tak bisa mengunyah makanan karena selalu mengonsumsi makanan berbentuk cairan sejak lahir. Genie hanya mengerti 3 kata saja, yakni namanya sendiri, 'stop' dan 'tidak lagi'.Â
Lingusit dan Neurologist Eric Lenneberg menyatakan bahwa seperti banyak perilaku manusia lainnya, kemampuan untuk memperoleh bahasa tunduk pada periode kritis. Periode kritis adalah rentang waktu yang terbatas di mana suatu organisme peka terhadap rangsangan eksternal dan mampu memperoleh keterampilan tertentu. Periode kritis untuk pemerolehan bahasa berlangsung hingga sekitar usia 12 tahun. Setelah masa pubertas organisasi otak menjadi teratur dan tidak lagi dapat mempelajari dan menggunakan bahasa secara penuh.
Dari kisah-kisah tersebut Nampak adanya hubungan antar nature dan nurture, Kedua-duanya amat diperlukan dalam pemrolehan Bahasa. Nature penting karena tanpanya manusia tak mungkin berbicara. Juga Nurture penting karena tanpa input dan drilling bekal kodrati tidak akan banyak menolong seperti pada kasus Genie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H