Mohon tunggu...
Ayub Simanjuntak
Ayub Simanjuntak Mohon Tunggu... Lainnya - The Truth Will Set You Free

Capturing Moments With Words

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Inklusif Sudahkah Menjadi Prioritas?

19 Agustus 2022   21:41 Diperbarui: 19 Agustus 2022   21:45 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: istockphoto

Menurut Permendiknas No.70 tahun 2009, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Dalam perkembangannya, pemerintah kabupaten/kota dapat menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan. Namun dalam kenyataannya di lapangan terdapat banyak kesulitan diantaranya anggaran atau dana operasional.

Pendidikan inklusif memiliki pengertian bahwa penyelenggara pendidikan memberikan kesempatan yang kepada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar maupun kelainan baik secara fisik maupun psikis.

Menurut Staub dan Peck (Effendi, 2013: 25) pendidikan inklusif itu menempatkan anak berkebutuhan khusus baik ringan, sedang maupun berat secara penuh di kelas umum atau regular.

Pentingnya pendidikan inklusi terus menerus dikembangkan karena memiliki kelebihan dan manfaat. Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:

  • Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
  • Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
  • Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan self esteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
  • Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika
  • Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK

Sedangkan yang dimaksud kebutuhan khusus anak yang dimaksud oleh permendiknas tersebut hanya meliputi tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, lamban belajar, dan gangguan motorik. 

Sedangkan kebutuhan khusus tidak hanya meliputi hal-hal internal seperti yang disebutkan di atas melainkan juga terdapat faktor-faktor eksternal seperti lingkungan belajar yang kurang mendukung dalam proses belajar anak-anak seperti adanya  konflik keluarga, konflik lingkungan, masalah ekonomi bahkan bencana alam dan peperangan.

Sebagai contoh nyata, saya memiliki dua anak kembar yang terlahir  prematur sekitar delapan bulan. Dalam perkembangannya, anak-anak kami secara fisik dan psikis juga terhambat. Sebagai contoh, mereka  baru bisa berjalan ketika usianya mencapai dua puluh tujuh bulan  serta ditambah dengan keterlambatan bicara serta perkembangan yang lain.

Memasuki usia TK, kami mencoba mendaftarkan anak kami di sebuah TK dekat rumah. Saya menceritakan dengan rinci kepada calon guru mereka kalau anak-anak kami mengalami keterlambatan bicara (speech delay) dan motorik. 

Sekolah inipun tetap menerima anak-anak kami pada level TK A. Mereka masuk TK A pada usia kira-kira lima setengah tahun. Kami tidak bisa memasukan lebih dini karena pandemi membuat seluruh TK belajar secara daring.

Dalam perjalanan belajar mereka, kami hampir setiap hari mendapati tulisan di buku tulis yang menyatakan  bahwa orangtua dimohon membantu anak-anak dengan tugas menulis dan membaca yang disamakan dengan anak-anak lain. Istri saya pun sekuat tenaga mendampingi  mereka menulis dan membaca, tapi karena memang anak-anak mengalami gangguan motorik maka hal tersebut sangat memberatkan anak-anak kami dan pada akhirnya mereka cenderung putus asa dan merasa sekolah adalah sebuah beban yang berat. 

Anak-anak sering terlihat murung dan tertekan karena merasa tidak pernah menyelesaikan tugas menulis dan membaca dengan tepat waktu. Apalagi kalau mereka melihat anak-anak sekelas mereka tidak mengalami masalah yang berarti.

Pernah satu kali dalam percakapan di grup Whatsapp kelas, terungkap kalau anak kami tidak mendapat tugas yang sama dengan anak-anak lain. Kami merasa anak kami seperti dianggap tidak ada. Terlebih setelah kami menyaksikan sendiri kalau buku tugas menulisnya kosong dan tidak dikoreksi.

Bulan Juli 2022 istri saya kembali dipanggil dan diberitahu bahwa anak kami yang kedua yang bernama Noah akan tetap belajar di TK A sedangkan abangnya akan naik level menjadi TK B. Setelah saya melihat perkembangan anak-anak kami yang cukup lambat, kami pun memutuskan untuk membawa mereka ke dokter spesialis anak pada klinik tumbuh kembang.

Pada assessment awal dokter menyatakan anak kami mengalami gangguan motorik yang membuatnya sangat sulit untuk memegang pensil dan menulis dengan lurus apalagi rapih. Dokter juga menghendaki anak-anak mengikuti sebuah tes psikologis untuk mengetahui apakah ada gangguan disleksia dan ADHD.

Sambil menunggu jadwal tes akhir bulan Agustus, istri saya kembali dipanggil oleh guru anak-anak yang kembali mengatakan bahwa anak kami harus belajar dengan rajin bahkan guru tersebut terang-terangan mengatakan anak kami malas. Sebagai seorang guru saya dapat bersaksi bahwa kami sebagai orangtua telah mengajar dengan konsisten anak-anak kami bahkan telah berupaya memeriksakan kepada dokter spesialis anak serta klinik tumbuh kembang.

Kami sudah menjelaskan kalau anak-anak kami mengalami kesulitan belajar karena gangguan motorik dan ada kecurigaan dokter mengalami disleksia dan ADHD karena kami masih harus menunggu tes akhir bulan ini.

Tetapi karena kami sulit meyakinkan karena tidak semua guru memahami hal tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk meminta surat pindah. Kami merasa sekolah pada akhirnya kembali membebani orangtua karena ketidakpahaman mereka mengenai keadaan anak-anak kami.

Sekarang kami kesulitan mencari sekolah inklusif karena tidak semua daerah memiliki fasilitas sekolah inklusif. Kami yakin hal ini dirasakan oleh ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orangtua di seluruh Indonesia yang merasa "tidak dimengerti" oleh pihak pendidik karena dengan sengaja atau tidak telah meremehkan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus ini. 

Kiranya pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan dan kebudayaan lebih bersikap proaktif dan responsif menyikapi perkembangan dan kehadiran sekolah-sekolah inklusif sampai ke tingkat desa/kelurahan mengingat amanat UUD 1945 Pasal 31.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun