Anak-anak sering terlihat murung dan tertekan karena merasa tidak pernah menyelesaikan tugas menulis dan membaca dengan tepat waktu. Apalagi kalau mereka melihat anak-anak sekelas mereka tidak mengalami masalah yang berarti.
Pernah satu kali dalam percakapan di grup Whatsapp kelas, terungkap kalau anak kami tidak mendapat tugas yang sama dengan anak-anak lain. Kami merasa anak kami seperti dianggap tidak ada. Terlebih setelah kami menyaksikan sendiri kalau buku tugas menulisnya kosong dan tidak dikoreksi.
Bulan Juli 2022 istri saya kembali dipanggil dan diberitahu bahwa anak kami yang kedua yang bernama Noah akan tetap belajar di TK A sedangkan abangnya akan naik level menjadi TK B. Setelah saya melihat perkembangan anak-anak kami yang cukup lambat, kami pun memutuskan untuk membawa mereka ke dokter spesialis anak pada klinik tumbuh kembang.
Pada assessment awal dokter menyatakan anak kami mengalami gangguan motorik yang membuatnya sangat sulit untuk memegang pensil dan menulis dengan lurus apalagi rapih. Dokter juga menghendaki anak-anak mengikuti sebuah tes psikologis untuk mengetahui apakah ada gangguan disleksia dan ADHD.
Sambil menunggu jadwal tes akhir bulan Agustus, istri saya kembali dipanggil oleh guru anak-anak yang kembali mengatakan bahwa anak kami harus belajar dengan rajin bahkan guru tersebut terang-terangan mengatakan anak kami malas. Sebagai seorang guru saya dapat bersaksi bahwa kami sebagai orangtua telah mengajar dengan konsisten anak-anak kami bahkan telah berupaya memeriksakan kepada dokter spesialis anak serta klinik tumbuh kembang.
Kami sudah menjelaskan kalau anak-anak kami mengalami kesulitan belajar karena gangguan motorik dan ada kecurigaan dokter mengalami disleksia dan ADHD karena kami masih harus menunggu tes akhir bulan ini.
Tetapi karena kami sulit meyakinkan karena tidak semua guru memahami hal tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk meminta surat pindah. Kami merasa sekolah pada akhirnya kembali membebani orangtua karena ketidakpahaman mereka mengenai keadaan anak-anak kami.
Sekarang kami kesulitan mencari sekolah inklusif karena tidak semua daerah memiliki fasilitas sekolah inklusif. Kami yakin hal ini dirasakan oleh ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orangtua di seluruh Indonesia yang merasa "tidak dimengerti" oleh pihak pendidik karena dengan sengaja atau tidak telah meremehkan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus ini.Â
Kiranya pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan dan kebudayaan lebih bersikap proaktif dan responsif menyikapi perkembangan dan kehadiran sekolah-sekolah inklusif sampai ke tingkat desa/kelurahan mengingat amanat UUD 1945 Pasal 31.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H