Menurut Permendiknas No.70 tahun 2009, Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Dalam perkembangannya, pemerintah kabupaten/kota dapat menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan. Namun dalam kenyataannya di lapangan terdapat banyak kesulitan diantaranya anggaran atau dana operasional.
Pendidikan inklusif memiliki pengertian bahwa penyelenggara pendidikan memberikan kesempatan yang kepada peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar maupun kelainan baik secara fisik maupun psikis.
Menurut Staub dan Peck (Effendi, 2013: 25) pendidikan inklusif itu menempatkan anak berkebutuhan khusus baik ringan, sedang maupun berat secara penuh di kelas umum atau regular.
Pentingnya pendidikan inklusi terus menerus dikembangkan karena memiliki kelebihan dan manfaat. Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
- Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
- Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
- Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan self esteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
- Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika
- Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK
Sedangkan yang dimaksud kebutuhan khusus anak yang dimaksud oleh permendiknas tersebut hanya meliputi tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, lamban belajar, dan gangguan motorik.Â
Sedangkan kebutuhan khusus tidak hanya meliputi hal-hal internal seperti yang disebutkan di atas melainkan juga terdapat faktor-faktor eksternal seperti lingkungan belajar yang kurang mendukung dalam proses belajar anak-anak seperti adanya  konflik keluarga, konflik lingkungan, masalah ekonomi bahkan bencana alam dan peperangan.
Sebagai contoh nyata, saya memiliki dua anak kembar yang terlahir  prematur sekitar delapan bulan. Dalam perkembangannya, anak-anak kami secara fisik dan psikis juga terhambat. Sebagai contoh, mereka  baru bisa berjalan ketika usianya mencapai dua puluh tujuh bulan  serta ditambah dengan keterlambatan bicara serta perkembangan yang lain.
Memasuki usia TK, kami mencoba mendaftarkan anak kami di sebuah TK dekat rumah. Saya menceritakan dengan rinci kepada calon guru mereka kalau anak-anak kami mengalami keterlambatan bicara (speech delay) dan motorik.Â
Sekolah inipun tetap menerima anak-anak kami pada level TK A. Mereka masuk TK A pada usia kira-kira lima setengah tahun. Kami tidak bisa memasukan lebih dini karena pandemi membuat seluruh TK belajar secara daring.
Dalam perjalanan belajar mereka, kami hampir setiap hari mendapati tulisan di buku tulis yang menyatakan  bahwa orangtua dimohon membantu anak-anak dengan tugas menulis dan membaca yang disamakan dengan anak-anak lain. Istri saya pun sekuat tenaga mendampingi  mereka menulis dan membaca, tapi karena memang anak-anak mengalami gangguan motorik maka hal tersebut sangat memberatkan anak-anak kami dan pada akhirnya mereka cenderung putus asa dan merasa sekolah adalah sebuah beban yang berat.Â