"Itu sudah mendingan, tapi tadi dia makan hanya sedikit."
"Sudah dibawa berobat belum?"
"Sudah, itulah tensinya lumayan tinggi."
"Ya sudah, tolong lihatin Mama kak ya. Besok kak beliin data."
"Oke, Kak."
Setelah itu aku menjadi tidak tenang. Aku yang biasanya merasa bahagia ketika bertemu dengan kekasihku kini menjadi biasa saja. Hingga dia bertanya, "kamu kenapa? Kelihatan lagi bingung gitu?"
"Masak sih? Kok aku biasa saja ya," balasku.
"Benar. Kalau ada masalah cerita sini."
Kutatap matanya diikuti senyuman, "enggak, tadi Adekku ngechat bilang kalau Mama sakit."
"Oh ya? Udah dibawa ke dokter belum?"
"Sudah, kemungkinan telat makan deh. Tapi enggak apa-apa, tadi udah teleponan juga."
"Baguslah. Oh iya aku pulang cepat ya hari ini, soalnya mau bantuin Bapak di rumah."
"Oke, enggak apa-apa."
"Kamu langsung tidur, jangan main handphone lagi atau balas-membalas chat cowok yang enggak penting."
"Emang kapan pernah aku membalas pesan cowok selain kamu? Lagian semenjak kita pacaran dari tahun 2016, aku hanya komunikasi sama kamu saja. Taukan?"
Dia tertawa kecil lalu mengelus lembut kepalaku. "Iya sayangku."
"Iya. Kamu juga kalau mau boongpun enggak masalah. Udah biasa juga kok."
"Enggak, aku janji deh enggak bakal ulangin lagi."
"Iya, janji diulangin lagi," jawabku malas.
Setelah itu aku pulang ke mess dan berencana tidur. Kulihat jam di layar menunjukkan pukul 22.12
Tiba-tiba Abangku menelepon dan menyambung empatkan dengan Mamaku.
"Kau lihat keadaan Mama kan?" Ucapnya dengan nada yang marah dan kesal. Â Sebab beberapa hari ini memang jarang untukku menghubungi Mama.
Terlihat Mama ku sedang menahan rasa sakit diiringi dengan mata yang menatap ke atas dengan tatapan kosong.
"Mama kenapa, Bang? Tadi baru saja telepon dan baik-baik saja," ucapku dengan suara yang bergetar.
"Kau lihatlah."
"Hiks, jadi Mama gimana? Aku takut Mama kenapa-napa, hiks." Aku sudah tak bisa menahan rasa tangis lagi. Dadaku terasa sesak dan sudut mata yang terasa sangat panas mencurahkan air mata yang selama ini kutahan.