Mohon tunggu...
Ayu Martaning Yogi A
Ayu Martaning Yogi A Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary girl

Menyukai Dunia Literasi, Tertarik pada Topik Ekonomi, Sosial, Budaya, serta Pengembangan Diri

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kartini Asal Blora Berjuang Menggapai Cita

30 November 2022   22:53 Diperbarui: 30 November 2022   23:19 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emansipasi wanita telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ratusan tahun lalu. Sosoknya memang telah tiada, namun semangat perjuangannya masih berkobar dalam diri perempuan Indonesia. 

Semangat Kartini itu turut mengalir dalam diri Ida Nurhayati, perempuan kelahiran Blora yang nyaris tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP. Pekatnya badai kehidupan justru menghempaskan Ida menuju kecemerlangan karirnya saat ini.

Perjuangan panjang menuntun Ida menjalani profesi ganda di bidang akuntansi. Pimpinan Kantor Akuntan Publik (KAP), sekaligus menjadi seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang. 

Bukan hanya tentang pencapaiannya yang mengagumkan, namun juga berbagai aspek kehidupannya. Sisi kepemimpinan, keseimbangan antara karir dan keluarga, serta nilai-nilai kehidupannya sangat layak dijadikan inspirasi bagi perempuan lainnya.

Pendidikan dan Perjuangan

Pencapaian Ida Nurhayati saat ini adalah bayaran atas perjuangannya sedari kecil. Gerobak bakso sang ayah dan rumah ala kadarnya menjadi saksi lika-liku hidupnya. Berbeda dengan anak sebaya dirinya yang mengisi hari-harinya dengan bermain, Ida kecil harus rela membantu kedua orang tuanya bekerja. 

Pasang surut usaha orang tua, sering kali membuat mereka terpaksa meminjam uang demi menopang kebutuhan sehari-hari. Kondisi itu membuat Ida kecil termotivasi untuk mengubah derajat kehidupan keluarga suatu hari nanti. Sosok kecil Ida berpikir bahwa pendidikan adalah jembatan perubahan itu.

Baginya, sekolah adalah kesempatan mahal yang pantang disia-siakan. Berkat bantuan gurunya di SD, Ia mendapat beasiswa dan berkesempatan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Kesungguhannya dibuktikan dengan prestasinya yang selalu menempati posisi pertama paralel di sekolahnya. 

Sayangnya, keinginanya untuk bersekolah di SMA umum harus kandas. Orang tua hanya mengijinkannya bersekolah di sekolah kejuruan, tujuannya agar dapat langsung bekerja setelah lulus.

Rasa terpaksa sempat melanda ketika Ida harus bersekolah di SMK jurusan Akuntansi. Meskipun demikian, ia meyakini bahwa ada keberkahan di balik restu orang tua. Keyakinan itu terbukti, kesempatan untuk kuliah justru datang setelah ia lulus SMK. Singkat cerita, kuliah D-3, S-1, hingga jenjang S-2 di Universitas Diponegoro berhasil dirampungkannya. Ketiga jenjang perkuliahan juga diselesaikannya dengan penuh liku dan perjuangan di setiap jenjangnya.

Perekonomian orang tua yang terseok masih mewarnai kehidupannya ketika menempuh D-3. Berhutang demi membayar uang kuliah masih kerap terjadi. Asa untuk memperbaiki perekonomian keluarga tetap terpatri dalam dirinya. Ijazah D-3 adalah modalnya melangkah. Pegawai bank, kemudian staff di kantor akuntan merupakan pekerjaan di awal karirnya.

Ida yang haus akan ilmu tidak hanya menjadikan tempat bekerja untuk mengumpulkan nominal, tetapi juga tempat belajar. Gaji yang ia terima disisihkannya untuk orang tua, serta ditabung untuk pendidikan pada jenjang S-1 dan S-2. Bagaimanapun pendidikan masih menjadi prioritasnya.

Berkiprah sebagai Praktisi dan Akademisi

Keyakinan bahwa pendidikan adalah jembatan perubahan perlahan terbukti. Berbekal latar belakang pendidikan akuntansi dan pengalaman sebagai staff di kantor akuntan, ia memberanikan diri untuk berkembang lebih jauh. Pada akhirnya berdirilah "KAP Ashari dan Ida Nurhayati" di Kota Semarang. Kantor tersebut merupakan kolaborasinya bersama rekan sejawatnya. Kini ia bukan lagi sebagai staff tetapi sebagai pimpinan.

Berperan sebagai pimpinan tak membuatnya tinggi hati. Bahkan, ia enggan menganggap hubungannya dengan para karyawan sebagai atasan dan bawahan. Bagi Ida Nurhayati, kantor yang didirikannya bukan untuk membangun staff tetapi membangun tim untuk maju dan sukses bersama. Ia tidak menginginkan sikap otoriter dalam memimpin. Harapannya semua orang yang bekerja sama dengannya tidak merasa terbebani dan selalu merasa senang menjalankan pekerjaannya.

Aktivitas sebagai Pimpinan KAP (Sumber: Dokumen Pribadi) 
Aktivitas sebagai Pimpinan KAP (Sumber: Dokumen Pribadi) 

Aspek kepemimpian dipelajarinya dari pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Termasuk dalam hal menegur bila salah seorang anggota timnya membuat kesalahan. Ia pun memiliki prinsip tersendiri dalam memberikan teguran atau arahan. Teguran yang diberikan selalu diupayakan agar tidak memalukan orang yang bersangkutan. Hal tersebut diyakininya dapat lebih tersampaikan dan membuat seseorang menyari kesalahannya.

Kemantapan hatinya untuk melanjutkan kuliah hingga S-2 adalah langkah yang tepat. Kualifikasi jenjang pendidikannya mengantarkannya menjadi seorang dosen. Profesi ini adalah wujud kecintaannya pada pendidikan yang ia yakini mampu mengubah kehidupan seseorang ke arah yang lebih baik.

Aktivitas Ida Nurhayati Saat Mengajar (Sumber: Dokumen Pribadi)
Aktivitas Ida Nurhayati Saat Mengajar (Sumber: Dokumen Pribadi)

Profesi ini juga memberikannya kepuasan tersendiri baginya. Kesempatan untuk berbagi ilmu dan berada dalam lingkungan yang positif selalu terbuka dengan menjadi dosen. Sekali lagi, terbukti bahwa pendidikan adalah jembatan perubahan. Kedua profesi yang ditekuninya sukses membanggakan kedua orang tuanya dan tentunya berhasil mengangkat derajat perekonomian keluarganya.

Karir dan Keluarga

Keluarga adalah support system terbaik bagi Ida Nurhayati. Kesibukannya dalam berkarir tetap menjadikan orang tua, suami, dan anaknya sebagai prioritas utama. Demi menjaga keseimbangan antara karir dan keluarga, skala prioritas kegiatan disusun setiap harinya. Curahan waktu yang ia berikan bukan berfokus pada kuantitas tetapi kualitas di masing-masing perannya.

Persepsi bahwa wanita harus memilih antara karir dan keluarga mutlak ditepisnya. Keduanya tetap dapat berjalan beriringan melalui manajemen waktu yang baik. Menurutnya, memaksimalkan potensi yang diberikan Tuhan adalah bentuk rasa syukur. Perempuan atau laki-laki sama-sama berhak berjuang menggapai cita-citanya.

Itulah sepenggal kisah Kartini dari Blora. Kisah Ida Nurhayati dapat menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia lainnya. Rasa optimis dan pantang menyerah harus ada untuk menyertai langkah perjuangan. Kisahnya memberikan pelajaran bahwa tidak selamanya langit itu gelap, akan ada waktunya mentari datang untuk menyinari. Tetap yakini bahwa setiap perjuangan akan memproklamasikan kemenangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun