Kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan pemerintah pada awal Maret 2020. Hal tersebut sontak menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Harga masker dan hand sanitizer melambung tinggi akibat kepanikan itu. Istilah panic buying digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut. Kondisi dimana terjadi pembelian secara besar-besaran akibat rasa panik.
Permintaan barang yang tinggi namun ketersediaan barang terbatas, membuat pihak yang memiliki persediaan barang berlebih menjualnya dengan harga fantastis. Hal itulah yang menyebabkan harga masker dan hand sanitizer menjadi sangat mahal. Hal itu diperparah dengan adanya pihak yang sengaja menimbunnya untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Tak hanya itu, kepanikan juga membuat masyarakat yang memiliki uang berlebih memborong bahan-bahan kebutuhan pokok secara besar-besaran. Hingga pada akhirnya pemerintah menerapkan pembatasan pembelian gula, beras, minyak goreng, serta mie instan (merdeka.com). Hal tersebut bertujuan untuk mengatasi panic buying yang dikhawatirkan menimbulkan krisis pangan, serta dapat mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Bagaimana Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dapat terganggu dengan adanya panic buying? Korelasi keduanya tentu akan kita pahami setelah kita memiliki pemahaman mengenai Stabilitas Sistem Keuangan.
Stabilitas Sistem Keuangan atau biasa disingkat SSK merupakan suatu kondisi dimana sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, selain itu mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal, sehingga alokasi pendanaan dan pembiayaan Sistem keuangan itu sendiri merupakan suatu sistem yang terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, perusahaan non keuangan, serta rumah tangga. Komponen dalam sistem tersebut saling berinteraksi dalam pendanaan maupun pembiayaan pertumbuhan ekonomi (sumber: bi.go.id).
Kemudian, siapa yang bertugas dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan?
Bank Indonesia (BI) berperan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Apabila diibaratkan, maka SSK merupakan target, Kebijakan makroprudensial merupakan senapannya. Peluru untuk membidik target itu adalah PBI (sumber: Youtube Kompasiana).
Risiko sistemik merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis. Risiko sistemik terjadi akibat adanya gangguan menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompeksitas usaha (complecity), keterkaitan antar institusi atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Hal-hal lebih mendetail mengenai risiko sitemik dapat dilihat pada PBI 16/11/PBI/2014 (sumber: bi.go.id).
Secara sederhana, risiko sistemik digambarkan seperti kejadian kecelakaan di jalan raya yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian menimbulkan kemacetan pada satu ruas jalan. Kemacetan itu secara cepat menular ke ruas-ruas jalan lainnya.