“Entah,” jawab Widhi sekenanya. “Emang kenapa?” sambungnya lagi.
“Sampur milik nenek buyutmu itu, kalau aku minta boleh nggak?” tanya Prasasti lagi.
“Maksudnya gimana? Ngomong yang jelas kenapa?” Widhi mulai merasa ada yang tidak beres dengan temannya ini.
“Aku merasa sampur kuning keemasan milik nenek buyutmu itu diminta sama yang punya, Wid,” ujar Prasasti menatap pada kotak kaca di tengah ruangan.
“Iki bocah ngomong apa, ta, jane?” Widhi mulai tak sabar dengan Prasasti. “Yuk balik aja!”
“Duluan aja, Wid,” jawab Prasasti.
Walaupun masih dengan perasaan heran, Widhi beranjak meninggalkan Prasasti. Ia keluar dari ruang pameran tanpa menutup pintunya. Namun ketika akan beranjak menstarter motornya, Widhi melihat seorang wanita cantik berkebaya hijau muda cerah dengan bawahan jarik cokelat tua di sudut jauh bangunan. Wanita itu menghadap ke arahnya kemudian berbalik menuju pintu masuk ruang pameran. Tanpa banyak berpikir Widhi segera berlalu.
Di dalam ruang pameran, Prasasti telah selesai merapikan meja kerja kecil itu. Ia sengaja merapikannya karena ia akan segera bertemu dengan Ning, wanita pujaan hatinya. Maka, merekahlah senyum di wajah Prasasti tatkala menemukan Ning tengah berdiri di depan kotak kaca di tengah ruangan dan tersenyum seakan memang sedang menunggu pemuda itu.
“Sudah lama menunggu?” tanya Prasasti menghampiri.
“Tidak, aku baru saja datang,” jawab Ning. “Malam ini, kau mau kuajak ke suatu tempat tidak?” tanyanya kemudian.
“Kemana?” tanya Prasasti lagi.