"Baik, Pak," jawab wanita cantik yang mampu mengalihkan duniaku itu sebelum ia keluar dari ruangan.
Pagiku bisa dikatakan produktif, walau aku merasa tidak seproduktif biasanya. Telekonference dengan Pak Santoso berjalan lancar, akhirnya lusa aku akan menandatangani merger dengan perusahaan manufaktur besar itu di Singapura.
Kemudian untuk proyek pembangunan perumahan yang diminta mama di Jogja terpantau cukup lancar juga. Walaupun tadi dilaporkan oleh mandor proyek bahwa terdapat kesalahpahaman dengan warga sekitar mengenai penggunaan sumber air bersih. Tetapi telah teratasi dengan baik.
Siang hari terlewati dengan cukup memuaskan pula. Walaupun Pak Hutomo selalu saja berusaha menyodorkan cucunya padaku, aku mampu menghindar dengan elok dengan mengatakan bahwa aku sudah memiliki calon istri pilihanku sendiri. Yahh ... Siapa lagi jika bukan Ratih?
Lihat caranya menyernyitkan dahi ketika mempelajari berkas baru. Aku yakin dokumen yang sedang dipelajarinya adalah proposal kerja sama dengan salah satu perusahaan manufaktur di China. Sebenarnya tidak ada yang sulit dengan proposal kerja sama itu, hanya saja memang pimpinan perusahaan manufaktur tersebut sedikit kolot dan masih ragu-ragu dalam mengambil keputusan, terlebih ia masih takut menghadapi resikonya.
Kuhampiri meja kerjanya, kemudian kuketuk pelan. "Hei ...."
"Ahh, Pak Rama, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya beranjak dari tempat duduknya.
"Sudah hampir jam enam sore, masih belum pulang?" tanyaku.
"Berkas manufaktur yang bapak berikan tadi, masih saya pelajari," jawabnya.
"Kau bisa melanjutkannya besok. Ayo ikut aku makan malam dengan Satria," ajakku mengedikkan kepala ke arah pintu kantor kami.
"Bukankah itu acara makan malam keluarga, Pak? Mengapa saya juga harus ikut? Apakah ada bisnis yang akan dibicarakan juga?" tanyanya lagi.