Mohon tunggu...
Ayu Safira
Ayu Safira Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Strategi Bank Syariah dan Ekonomi di Era Pandemi

13 November 2020   13:47 Diperbarui: 13 November 2020   13:50 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem ekonomi syari'ah semakin hari perkembangannya semakin dikenal di kalangan masyarakat. Tak hanya untuk masyarakat muslim semata, tetapi juga bagi mereka yang non-muslim pun sangat tertarik dengan sistem syariah ini. Keadaan ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat yang menjadi nasabah di bank yang menerapkan konsep syariah.

Sejalan dengan itu, fenomena yang terjadi dewasa ini ialah semakin banyaknya bank yang menggunakan sistem Syariah, bahkan tidak sedikit bank yang awalnya konvensional yang mencoba alternatif lain untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Ada beberapa alasan mengapa perbankan konvensional melirik sistem Syariah?, diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, bank Syariah bisa dijadikan sebagai pasar yang potensial. Karena mayoritas penduduk Indonesia seorang muslim. Kedua, sistem bagi hasil dalam bank Syariah terbukti lebih menguntungkan dan tangguh dalam menghadapi goncangan krisis moneter yang melanda pada tahun 1998.

Berbicara mengenai krisis, masa pandemi sekarang ini pun sebenarnya juga bisa dikatakan sebagai masa krisis. Di mana ekonomi dunia sudah membuat prediksi paling buruk tentang pertumbuhan ekonomi ditahun 2020, di mana IMF menyatakan bahwa "Pertumbuhan ekonomi dunia turun menjadi -3%. Terlihat dalam data tersebut bahwa pertumbuhan di negara Indonesia sendiri sebelum adanya wabah Covid-19 itu diposisi 5,2% kemudian turun menjadi -1,9%, Filipina sebelum Covid-19 diposisi 6,5% sekarang -1,9%, Singapura menjadi -4,9%, Malaysia menjadi -5,5% dan Thailand menjadi -6,6%. Jika dillihat dari minusnya memang sama-sama minus tapi Indonesia dan Filipina minusnya lebih kecil dibandingkan minus growth dari Thailand ataupun Malaysia.

Selanjutnya, apa perbedaan dari krisis sekarang, tahun 1998 dan tahun 2008? Jika di tahun 1998 itu dari overheating ekonomi, di mana ekonomi tumbuh dengan cepat kemudian terjadi export-import negatif "current account deficit" kemudian pasar keuangan yang mendanai ekonomi Negara Asia Tenggara tiba-tiba tidak percaya, dan disaat itulah tidak ada penjaminan terhadap deposit, belum ada LPS, dan peraturan perbankan yang masih longgar. Sehingga pada saat itu terjadi krisis besar di Asia Tenggara termasuk di Indonesia yang pada saat itu sempat negatif -13% di tahun 1998.

Kemudian krisis di tahun 2008, sebenarnya tidak terlalu terasa di negara di luar Amerika dan Eropa. Indonesia sempat merasakannya, tapi cukup sebentar hanya di 2008 dan 2009. Kemudian di 2009 semester ke-2 sebenarnya sudah pick-up. Krisis 2008 ini berawal dari krisis sektor keuangan Sarver Morgate di Amerika, kemudian menjalar ke Eropa dan dilakukan stimulus moneter dan fiskal di Amerika dan Eropa.

Sedangkan untuk saat ini, krisis dialami oleh hampir seluruh negara di dunia baik negara maju maupun negara yang berkembang. Krisis ini berawal dari sektor kesehatan dari Covid-19 kemudian semua menjadi work from home, PSBB sehingga sektor rill-nya mandet. Sehingga semua revenue turun dan tentu berdampak kepada sektor keuangan yang selama ini memberikan pembiayaan kepada sektor rill, baik itu rumah tangga, UMKM maupun korporasi.

Saat ini dilakukan stimulus moneter dan stimulus fiskal yang lebih besar daripada tahun 2008 dengan istilah "helicopter money" yaitu gabungan dari stimulus fiskal dan stimulus moneter dan besarnya sangat luar biasa. Hal ini membuat Bank Sentral melakukan pemotogan suku bunga secara signifikan seperti di Amerika untuk saat ini menjadi 0%, Indonesia suku bunganya 4,5% dan semua negara melakukan pemotongan suku bunga. Disamping itu, Bank Sentral melakukan "quantitative easing" yang mana Bank Sentral melakukan pembelian berbagai macam surat berharga. Nah, apa perbedaannya dengan 2008? Perbedaannya adalah pada saat itu, yang dilakukan pembelian oleh Bank Sentral ialah surat berharga pemerintah dan menyalurkan ke sistem keuangan dan juga melakukan pembelian surat berharganya perbankan itu yang dilakukan di Eropa.

Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak Bank Sentral yang melakukan pembelian surat berharga bukan hanya surat berharga pemerintah dan perbankan tapi juga surat berharganya korporasi, pemerintah daerah dan UMKM dan dilakukan dengan sangat masif. Ini dilakukan untuk injeksi likuiditas ke sistem dalam rangka supaya likuiditas mengalir besar dan suku bunga tetap bertahan di level yang rendah.

Berbagai dukungan fiskal telah dilakukan oleh berbagai negara, begitu pun dengan Indonesia. Lalu, berapa persen Indonesia dalam melakukan dukungan ini? Melihat dari pengeluaran harus ditingkatkan terutama dalam sektor kesehatan dan sektor bantuan sosial. Sementara pajak menurun drastis, maka langkah yang harus diambil ialah menaikan defisit dari 3% menjadi sekitar 5,1%. Nah dari situlah terlihat stimulus fiskal pemerintah Indonesia.

Dengan adanya pelebaran defisit maka akan terjadi pelebaran utang. Tetapi, pemerintah Indonesia cukup berhati-hati dalam melakukan pelebaran defisit ini, karena memang dalam rangka menjaga rasio utang di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 30% utang dari PDB nya. Jika pemerintah menaikan defisit 3% maka kira-kira utang pemerintah akan menjadi 33% dari PDB, angka ini masih dalam batas relatif rendah, karena batas dari Undang-Undang Keuangan Negara Indonesia adalah diangka 60% PDB. Kenapa diangka 60% PDB? Karena itu merupakan benchmark yang dipakai oleh Eropa.

Lebih jauh lagi, pernyataan dari "jika ada tambahan utang, tentunya pemerintah Indonesia akan menambahkan tingkat biaya bunga", lalu, bagaimana cara yang konservatif untuk melihat beban biaya bunga? caranya adalah dengan melihat biaya bunga terhadap revenue di APBN. Setelah ekonomi recover maka mulai turun dan di level sekitar 10% dan 9%. Inilah yang harus kita jaga, jangan sampai stimulus-stimulus ini tidak berdampak pada sektor rill. Justru yang diinginkan ialah stimulus ini bisa berdampak pada sektor rill dan turunnya penularan Covid-19, ekonominya ter-recover, sehingga pengorbanan yang dilakukan oleh negara ini dengan melakukan pelebaran utang, dan meningkatkan beban bunga tidak sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun