Ditulis oleh Ayu Fitri Khairunnisa
Mahasiswi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
Revolusi digital berkembang dengan kecepatan yang tak terbendung. Di samping ledakan fasilitas dan sistem teknologi digital yang belum pernah terjadi sebelumnya, kesehatan mental berada di bawah tekanan yang lebih besar daripada sebelumnya.Â
Artikel ini mempertimbangkan dampak komunikasi yang dimediasi secara digital pada interaksi manusia dan dampak potensialnya pada berbagai kondisi mental seperti yang terkait dengan suasana hati, kecemasan, tetapi juga kesejahteraan. Masalah seperti depresi dan kecemasan adalah beberapa implikasi dari kemajuan teknologi digital.Â
Inti dari kemajuan teknologi digital adalah akses seluler ke World Wide Web, komunikasi yang dimediasi secara digital, dan penggunaan smartphone secara massal. Teknologi seluler dan akses langsung dan di mana-mana ke informasi, serta kepengarangan digital yang disengaja dan tidak disengaja.
Bukti yang sekarang tegas mengenai pendorong sosial dan lingkungan dari kesehatan mental yang buruk, misalnya kemiskinan, tinggal di lingkungan perkotaan, perumahan yang buruk, dan pengaruh konten-konten di media sosial. Penggerak ini dianggap sebagian besar dipengaruhi oleh struktur masyarakat kapitalis kompetitif saat ini.Â
Teknologi digital sekarang juga memainkan peran penting ketika mempertimbangkan konteks sosial. Paparan yang tampaknya konstan, dan hubungan dengan, orang lain dan kehidupan mereka memiliki potensi untuk menjadi positif dan negatif.
Manusia telah berevolusi menjadi sangat sosial, dan komunikasi serta perkembangan sosial sekarang terjadi di ruang digital. Belum pernah kita mengalami tingkat konektivitas kita saat ini, namun tampaknya kita juga lebih terisolasi dan semakin kesepian daripada sebelumnya.Â
Ditambah lagi, dunia tak pernah mengira akan kedatangan sebuah makhluk hidup tak kasat mata yang mampu mengubah seluruh sektor kehidupan manusia. Hanya dalam waktu 2 bulan, makhluk tersebut sudah berada dan menyebar hampir di seluruh negara di dunia. Dan tentunya ada dampak besar yakni  menghilangkan interaksi tatap muka dan beralih untuk bergantung ke ruang digital.
Sudah nyaris 2 tahun, muda-mudi di indonesia tak leluasa berinteraksi di luar rumah. Semua aktivitas pembelajaran dan pekerjaan dilakukan di dalam rumah, mulai dari diskusi, curhat, konsumsi, dan mencari hiburan. Tak ada aktivitas tatap muka secara langsung, bahkan penyedia layanan seperti zoom meetings, google meets, dan lain-lain memiliki fitur untuk menutup kamera dan microphone. Membuat mereka menjadi semakin minim berkontak mata.
Tekanan dari perguruan tinggi maupun perusahaan semakin berat dibanding sebelumnya. Semua karena adaptasi yang dilakukan agar kegiatan pembelajaran dan penugasan pekerjaan dapat tetap berjalan walau kondisi berubah total. Dan hal tersebut mendesak mereka untuk mencari hiburan saat tugas-tugasnya sebagai mahasiswa/pekerja sudah selesai. Namun, hiburan-hiburan yang ada di media sosial saat ini, khususnya saat pandemi sekarang, justru secara tidak langsung mengganggu kesehatan mental mereka.
Setiap individu itu berbeda, dari latar belakang ekonomi, keluarga, agama, dan lain sebagainya. Hiburan-hiburan di media sosial saat ini (contoh YouTube, Instagram, Facebook, TikTok, dan lain-lain) menunjukan kemewahan dan kepopuleran yang rasanya sulit sekali untuk dicapai, bahkan saat dunia dalam keadaan normal. Dan karena mereka hanya punya satu-satunya hiburan di rumah, maka konten tersebutlah yang dikonsumsi oleh para pemuda setiap harinya selama pandemi covid-19 berlangsung di Indonesia.
Anak muda dikenal tak mau kalah dan tak mau dicap ketinggalan Trend. Mereka tak bisa berpikir jernih untuk melihat perbedaan antara konten yang dikonsumsi dengan kemampuan diri untuk mengikuti. Sehingga acap kali menjadi salah satu penyebab kecemasan yang berlebihan.
Sangat mudah untuk melihat bagaimana teori perbandingan sosial dapat diterapkan pada platform media sosial yang digunakan saat ini, dan efek platform ini terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan.Â
Terlibat dengan orang lain melalui platform media sosial dapat menimbulkan perbandingan sosial ke atas yang negatif di mana individu membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain, yang mengarah ke perasaan negatif tentang diri sendiri. Media sosial lebih lanjut dapat memfasilitasi pembentukan peringkat sosial karena kecenderungan orang untuk menampilkan diri dan pengalaman mereka dalam cahaya yang dominan positif (Manago, Graham, Greenfield, & Salimkhan, 2008).
Media sosial memberikan kendali atas bagaimana orang lain melihat kita, sehingga daripada menggambarkan kerentanan kita, profil yang dimediasi secara sosial dapat diedit dan ditampilkan di bawah kendali kita (Manago et al., 2008). Hal ini terutama terlihat pada beberapa platform media sosial seperti Instagram yang tampaknya memiliki elemen perbandingan sosial yang ditingkatkan terutama dalam kaitannya dengan citra tubuh. Slater, Varsani, dan Diedrichs (2017) secara eksperimental memeriksa 160 kepuasan tubuh, apresiasi tubuh, belas kasih terhadap diri sendiri, dan suasana hati wanita sarjana saat terpapar gambar 'fitspiration', kutipan self-compassion, atau penampilan gambar netral. Perbandingan diri melemahkan dampak negatif dari gambar media sosial pada kepuasan tubuh jika dibandingkan dengan gambar fitspiration saja.
Ada kemungkinan bahwa komunikasi yang dimediasi secara digital juga mendorong peningkatan pengalaman subjektif kesepian yang dilaporkan, masalah sosial yang berkembang yang diamati oleh seluruh pemuda. Kesepian adalah pengalaman subjektif dari isolasi sosial dan dialami ketika ada perbedaan antara jenis hubungan interpersonal yang diinginkan seseorang dibandingkan dengan hubungan yang dirasakan seseorang (Perlman & Peplau, 1982).
Manusia memiliki kebutuhan bawaan untuk memiliki (Beutel et al., 2017; Heinrich & Gullone, 2006); pengalaman subjektif kesepian terkait dengan kualitas hubungan manusia (Lim & Gleeson, 2014).Â
Teknologi digital telah menjadi mediator baru dalam interaksi sosial kita dan, bagi sebagian orang, menjadi metode komunikasi yang disukai.Â
Mengesampingkan faktor-faktor seperti tinggal di lebih banyak keluarga inti jauh dari keluarga besar, terlibat dalam sarana komunikasi yang dimediasi secara digital daripada kontak tatap muka tampaknya berdampak pada tingkat kesepian yang dilaporkan. Terkait dengan kesepian adalah dukungan sosial dan rasa memiliki, yang memiliki implikasi penting bagi kesejahteraan dan kesehatan mental.
Rasa kesepian, iri, dan gengsi yang kerap kali dirasakan oleh anak muda saat mengonsumsi konten di media sosial, menghadirkan sebuah rasa yang terus menumpuk hingga menjadi penyabab kesehatan mental mereka. Akibatnya, mereka menjadi minder dan kurang percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Ada standar-standar baru yang mereka ciptakan sendiri sesuai dengan keiiginan mereka yang tak bisa dimiliki.
Cara yang tepat untuk meminimalisir kecemasan dan menjaga kesehatan mental adalah, dengan menjadi pembuat konten, bukan lagi menjadi penikmat saja. Muda-mudi bisa belajar membuat konten-konten kreatif, edukatif, inovatif, dan informatif; yang tidak melulu tentang kekayaan dan kepopuleran, di saat waktu istirahat mereka. Karena perkuliahan dan pekerjaan dilakukan di rumah, maka akan ada waktu tambahan dibandingkan saat offline. Kehadiran konten-konten positif dapat menghasilkan konsumsi yang positif.Â
Selain itu, muda-mudi juga bisa untuk memilah-milah konten mana yang bagus untuk dilihat. Kita juga harus membentengi diri dari konten yang dikonsumsi, sehingga tidak memunculkan hawa negatif yang akan menganggu kesehatan mental pemuda-pemudi. Cara lain adalah, meningkatkan empati kepada sesama.Â
Jika ada teman atau orang terdekat yang mengeluh tentang pekerjaannya, tentang keluarga, atau tentang kondisi ekonominya, usahakan untuk tetap berada disampingnya. Walaupun tidak bisa membantu banyak, setidaknya kita sudah membantunya untuk meringankan bebannya dan mereka percaya bahwa masih ada orang-orang yang peduli walaupun mereka dalam keadaan yang bermasalah.
Referensi:
Ostergaard, S. D. (2017). Taking Facebook at face value: Why the use of social media may cause mental disorder. Acta Psychiatrica Scandinavica, 136, 439–440. https://doi.org/10.1111/acps. 12819
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Theoretical approaches to loneliness. In Loneliness: A sourcebook of current theory, research and therapy (pp. 123–134).
Slater, A., Varsani, N., & Diedrichs, P. C. (2017). # fitspo or# loveyourself? The impact of fitspiration and self-compassion Instagram images on women’s body image, self-compassion, and mood. Body Image, 22, 87–96. https://doi.org/10.1016/j.bodyim.2017.06.004
Stallard, P., Richardson, T., & Velleman, S. (2010). Clinicians’ attitudes towards the use of computerized cognitive behaviour therapy (cCBT) with children and adolescents. Behavioural and Cognitive Psychotherapy, 38, 545–560. https://doi.org/10.1017/S1352465810000421
Swallow, S. R., & Kuiper, N. A. (1988). Social comparison and negative self-evaluations: An application to depression.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI