Air mataku bergulir, tak lama setelah tanganku membuka album foto dari dalam laci. Sudah lama aku tak mempedulikan barang-barang milik ayah. Aku masuk dan keluar hanya untuk merawat sosok yang terbaring semakin lemah.Â
Di dunia ini, akulah milik ayah satu-satunya. Ayah sangat menyayangiku dan aku merawatnya agar bisa terus memilikinya. Doa itu yang kupanjatkan dalam sholat malamku.
Sebagai anak laki-laki, semasa kecil aku memang sempat merasa sangat merindukan figur seorang ibu. Sampai-sampai aku lupa, ada ayah yang selalu menjagaku siang dan malam.Â
Aku mengusap air mataku, mengeluarkan selembar foto dari album tua.Â
Ini foto ketika aku baru berusia beberapa hari dan ayah masih muda. Tampak ayah menatapku sambil tertawa penuh rasa bahagia.Â
Di tangannya aku hanyalah bayi mungil, tetapi saat itu pasti aku sudah membawa harapan-harapan ayah. Dan ayah membayar mahal untuk mendapatkan kelahiranku. Ayah harus kehilangan ibu karena keadaannya terus melemah akibat pendarahan.Â
Aku menatap foto lainnya. Kali ini ayah menggandeng tanganku dengan satu jarinya. Aku masih berusia sekitar tiga tahun. Kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman. Foto itu diambil dari arah belakang, namun bisa memperlihatkan dengan jelas kedekatan kamiÂ
Ayah selalu melindungiku, dan selalu ada untukku. Dia termasuk satu dari sedikit ayah paling keren di seluruh dunia.
Aku pernah bertanya bagaimana ayah bisa bekerja saat aku masih bayi. Kata ayah, aku dititipkan di bagian pengasuhan yang memang tersedia di kantor tempat ayah bekerja. Lalu sore harinya, aku tertidur di dada ayah selama perjalanan pulang. Kata ayah, mungkin karena kereta bergoyang-goyang, atau karena detak jantung ayah mirip lagu nina bobok bagiku.
Entah bagaimana cara ayah membagi waktu untuk merawatku, bekerja, dan beristirahat. Ayah memang sangat sabar.Â
Sebenarnya ayah mempunyai adik perempuan yang bisa dimintai bantuan, namun ayah lebih memilih mengurusku dengan tangannya sendiri. Termasuk saat usiaku menunjukkan sudah harus masuk sekolah. Ayah selalu mengantar dan menjemput ketika jam pulang sekolah. Saat pembagian raport, ayah juga menyempatkan untuk hadir.
Malam sebelum tidur, ayah selalu menceritakan kenangan-kenangan tentang ibu. Dari cerita ayah itulah aku mengenal sosok ibu. Dan saat libur kerja, ayah mengajakku berziarah ke makam ibu. Kami selalu mendoakan agar ibu mendapat tempat yang indah di alam sana.
Saat aku beranjak remaja, aku memang mulai punya banyak kesibukan dan teman bermain di luar. Namun tidak berarti hubungan kami menjadi renggang.Â
Aku dan ayah tetap dekat meskipun hanya saat makan malam bersama. Bukan seperti dua sahabat, tetapi selayaknya ayah dan anak yang saling merindukan. Aku dengan bebas bercerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolah, atau bertanya bagaimana ketika ayah pertama kali menyukai seorang gadis.
Kami benar-benar sering tertawa bersama, atau bahkan merasa sedih bersama. Terutama jika kami sama-sama membayangkan andai ibu masih ada, dan ikut bermain-main di pantai seperti yang kami lakukan menjelang tahun baru.
Aku menatap foto lainnya lagi. Foto ketika aku makan buah semangka dengan lahapnya. Saat itu usiaku kira-kira masih sepuluh tahun. Kata ayah, sejak balita aku sudah menyukai buah-buahan. Sepiring potongan buah mangga bisa kuhabiskan sendirian dalam waktu yang sebentar. Begitu juga dengan buah jambu, manggis, atau apel.Â
Kata ayah, kebiasaan ini berasal dari ibu. Ibu juga sangat menyukai buah-buahan. Bahkan jika ayah sedang tidak punya cukup uang, ayah membeli dua jeruk saja untuk membuatku merasa senang dan tersenyum lebar.
Semua itu masih membekas dalam ingatanku, seolah baru saja terjadi kemarin.
Aku menatap selembar foto yang masih baru di bagian hampir paling akhir. Foto ketika aku mengenakan baju wisuda S1. Aku tampak tersenyum canggung, berdiri di sisi kursi roda di mana ayah duduk di atasnya.Â
Saat itu ayah masih sehat, meski kedua kakinya lumpuh setelah mengalami kecelakaan. Ayah sudah hampir memasuki masa pensiun, namun peristiwa itu membuat ayah harus resign lebih awal. Sebagian tabungan ayah habis untuk biaya rumah sakit, dan sebagian lagi kami gunakan untuk bertahan hidup.
Jika sebelumnya ayah wanti-wanti agar aku jangan menyambi bekerja dan hanya fokus kuliah, akhirnya ayah tidak dapat lagi melarangku bekerja.Â
Sebenarnya kondisi ayah cukup sehat, namun beberapa waktu terakhir tubuh ayah mulai kurus. Ayah malas makan dan terlihat murung hampir sepanjang hari. Ayah baru mau makan jika aku sudah sampai di rumah, sore atau malam hari. Bisa dibayangkan betapa panjang kesepian yang harus dilewati ayah saat itu. Itulah mengapa aku tidak dapat tersenyum puas meski mendapat peringkat pertama dari jurusan.
Lebih sedih lagi, karena dulu ayah bisa menitipkan aku ke bagian pengasuhan, agar ayah bisa tenang bekerja. Kami pulang bersama-sama sorenya, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Sebaliknya, saat aku diterima bekerja, aku harus meninggalkan ayah di rumah sendirian. Kebetulan adik ayah sudah jauh mengikuti suaminya bertugas di Kalimantan. Dan ayah juga menolak tenaga pendamping lansia yang kuambil dari agen penyalur.
Ketika tidak lama kemudian, aku mendapat panggilan beasiswa S2 ke Jerman, aku memilih untuk tidak memberitahu ayah soal ini. Aku memutuskan untuk tetap berada di sisi ayah, karena itulah yang terpenting. Aku akan mengejar pendidikanku jika kesempatan itu bisa kudapatkan lagi, tetapi tidak sekarang. Saat ini ayah sangat membutuhkan kehadiran dan cinta dariku.
Dan benar saja, di minggu berikutnya ayah tiba-tiba drop dan dokter mengatakan ayah terkena stroke.Â
Aku menangis sejadinya. Duniaku seperti hilang!
Aku merasa kehilangan kebahagiaanku yang dulu bersama ayah. Kami tidak mungkin bisa seperti dulu lagi. Kemelekatan antara ayah dan anak yang saling mencintai. Bahkan aku baru saja menyediakan diriku untuk membuat hari-hari ayah lebih ceria.
Aku menarik napas dalam, dan menatap ke luar jendela, lalu menekuri album foto lagi.
Aku masih mengingat momen itu dengan jelas. Ayah jatuh sakit, dan aku anak lelakinya, justru tenggelam dalam keputusasaan. Sampai akhirnya adik ayah yang masih berada di Kalimantan, menghubungi lewat telepon.
"Nak Aldo merasa berkorban sangat besar ya, dengan membatalkan beasiswa ke luar negeri? Tante tahu Nak Aldo punya tujuan mulia, ingin menemani dan merawat ayah. Tetapi ekspektasi yang terlalu tinggi justru membalikkan keadaan. Sehat dan sakit itu takdir dari Allah. Nak Aldo jangan terpuruk lagi ya? Kalau Nak Aldo kecewa, lalu siapa yang akan menghibur ayah?"
Kata-kata itu masih terekam juga di kepala. Untung saja saat itu aku segera sadar bahwa semuanya tak harus berjalan seperti keinginanku. Aku hanyalah manusia biasa dan tidak kuasa memilih.Â
Teringat kejadian yang sangat mengejutkan ketika seseorang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah kandungku. Seorang bertubuh tambun berkulit putih, mata sipit, mirip dengan diriku. Asistennya menyodorkan sebuah surat perjanjian bahwa ayah menerima seorang bayi untuk dirawat, dan akan dikembalikan saat berusia 17 tahun.
"Aku akan mengambil bayi itu kembali begitu aku dibebaskan dari penjara. Tetapi kemudian aku kehilangan jejak ayahmu, Nak!"
Pandanganku seketika terasa gelap dan perutku mual. Siapa sebenarnya laki-laki itu? Mengapa dia harus hadir di saat yang tidak tepat?Â
*
Aku menutup album foto lama, menyimpannya dalam lemari, lalu menutup pintunya rapat-rapat.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskan bersama sejuta kesedihan yang selama ini kusimpan. Kali ini aku akan melangkahkan kaki dengan pasti.Â
Setahun lamanya berjibaku dengan sakitnya ayah, dan bersamaan dengan kehadiran seseorang yang mengaku sebagai ayah kandungku, cukup membuatku lelah. Ayah telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta, dan tidak seorang bisa menghalangi itu. Betapapun besarnya cintaku kepada ayah, Allah lebih menyayanginya.
Beberapa jam lagi pesawat akan membawaku ke negara tujuan. Kali ini aku akan mengejar pendidikanku. Dan ayah akan kubawa serta di hatiku.
***
Kota Kayu, 21 Januari 2025
Ika AyraÂ
Ibu rumah tangga yang senang menulis cerpen.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI