Sebenarnya ayah mempunyai adik perempuan yang bisa dimintai bantuan, namun ayah lebih memilih mengurusku dengan tangannya sendiri. Termasuk saat usiaku menunjukkan sudah harus masuk sekolah. Ayah selalu mengantar dan menjemput ketika jam pulang sekolah. Saat pembagian raport, ayah juga menyempatkan untuk hadir.
Malam sebelum tidur, ayah selalu menceritakan kenangan-kenangan tentang ibu. Dari cerita ayah itulah aku mengenal sosok ibu. Dan saat libur kerja, ayah mengajakku berziarah ke makam ibu. Kami selalu mendoakan agar ibu mendapat tempat yang indah di alam sana.
Saat aku beranjak remaja, aku memang mulai punya banyak kesibukan dan teman bermain di luar. Namun tidak berarti hubungan kami menjadi renggang.Â
Aku dan ayah tetap dekat meskipun hanya saat makan malam bersama. Bukan seperti dua sahabat, tetapi selayaknya ayah dan anak yang saling merindukan. Aku dengan bebas bercerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolah, atau bertanya bagaimana ketika ayah pertama kali menyukai seorang gadis.
Kami benar-benar sering tertawa bersama, atau bahkan merasa sedih bersama. Terutama jika kami sama-sama membayangkan andai ibu masih ada, dan ikut bermain-main di pantai seperti yang kami lakukan menjelang tahun baru.
Aku menatap foto lainnya lagi. Foto ketika aku makan buah semangka dengan lahapnya. Saat itu usiaku kira-kira masih sepuluh tahun. Kata ayah, sejak balita aku sudah menyukai buah-buahan. Sepiring potongan buah mangga bisa kuhabiskan sendirian dalam waktu yang sebentar. Begitu juga dengan buah jambu, manggis, atau apel.Â
Kata ayah, kebiasaan ini berasal dari ibu. Ibu juga sangat menyukai buah-buahan. Bahkan jika ayah sedang tidak punya cukup uang, ayah membeli dua jeruk saja untuk membuatku merasa senang dan tersenyum lebar.
Semua itu masih membekas dalam ingatanku, seolah baru saja terjadi kemarin.
Aku menatap selembar foto yang masih baru di bagian hampir paling akhir. Foto ketika aku mengenakan baju wisuda S1. Aku tampak tersenyum canggung, berdiri di sisi kursi roda di mana ayah duduk di atasnya.Â
Saat itu ayah masih sehat, meski kedua kakinya lumpuh setelah mengalami kecelakaan. Ayah sudah hampir memasuki masa pensiun, namun peristiwa itu membuat ayah harus resign lebih awal. Sebagian tabungan ayah habis untuk biaya rumah sakit, dan sebagian lagi kami gunakan untuk bertahan hidup.
Jika sebelumnya ayah wanti-wanti agar aku jangan menyambi bekerja dan hanya fokus kuliah, akhirnya ayah tidak dapat lagi melarangku bekerja.Â