Musim kemarau baru saja sampai di kampung gurun. Namun embusan angin kering  terasa membakar. Ilalang serupa gersang, burung bersiul gelisah. Salma dan para penduduk kaki gunung pasir, sengsara.
Salma diam, tertegun di jendela kamarnya.Â
Wanita itu merasakan benar kesunyian di rumahnya. Sejak memutuskan bercerai dari suaminya, Salma merasa terasing layaknya dalam sebuah penjara.
"Kau tidak kasihan dengan anak-anakmu?" tanya mamaknya, bulan lalu. Sekonyong-konyong ketiga anaknya dibawa sang nenek pulang ke kampung Rawa. Mereka pasti senang di sana, bermain-main bersama entok dan kerbau.
Salma bisa menjawab pertanyaan mamaknya. Dia merasa pertanyaan itu malah menyudutkan dirinya. Bukankah seharusnya mamak memarahi suaminya yang tega berselingkuh dengan wanita lain.
Di mata mamaknya, Salma mungkin terlalu egois. Ketiga anaknya masih membutuhkan ayah mereka, dan Salma membuat ayah dan anak menjadi berjarak.
Belum lagi masalah biaya. Salma tahu suaminya tidak akan memberikan uang sepeser pun, sebab perceraian ini adalah keinginan Salma sendiri.
Ini tidak adil. Suaminya ingin Salma membiarkan dirinya dimadu. Toh dia tidak akan kehilangan apapun. Dia hanya perlu menerima apa yang dilakukan suaminya di luar sana.Â
Tidak! Hati kecilnya tidak rela harga dirinya sebagai wanita diinjak-injak. Selama ini Salma menghormati dan melayani suaminya. Tetapi laki-laki yang dia nikahi justru ingin memperturutkan nafsunya. Suaminya lah yang tidak kasihan kepada anak-anaknya.Â
Salma menangis berderai-derai. Dia tidak menyangka kedatangan mamaknya justru mempersalahkan dirinya. Mengapa wanita harus setia kepada suaminya, sementara suami boleh mengkhianati kesetiaan istrinya?