Laki-laki itu, yang rutin memarkirkan motor bututnya di bawah pohon delima, akhir-akhir ini tiba dengan terlambat.Â
Saat tetangganya selesai menyapu daun-daun kering serta menyiram  tanaman, Sirajuddin masih belum menampakkan batang hidungnya.Â
Sore terus meredup, dan selama dua bulan itu Sirajuddin belum kembali pada kebiasaannya yang lama.
Tetangganya begitu peduli akan nasib duda beranak satu itu. Tetapi lama-kelamaan rasa bosan menjangkiti seperti penyakit yang tiba-tiba datang. Malas juga dipikirkannya mengapa laki-laki itu selalu pulang saat kampung sudah sepi.
Sampai di suatu pagi, yang saat itu matahari terasa hangat di kulit Sirajuddin, tetangganya tertegun melihat kekurusan di balik kaos hitam berlogo contreng putih.
"Apa kabar, Mak?" laki-laki itu memelankan suaranya, khawatir membuat terkejut.
"Eh, kau rupanya!"
Laki-laki itu meraih tangan Mak Bollong dan menciumnya penuh takzim. Seandainya mamaknya masih hidup, usianya tak akan jauh berbeda.
"Kemana saja, kau tak pernah kelihatan?"
Sirajuddin mengisap rokoknya dalam-dalam, sebelum membuang muka mengembuskan asap putih ke lain arah.