"Tolong selamatkan putriku. Aku akan memenuhi keinginmu."
"Hmm? Aku tidak punya keinginan apapun."
"Kumohon! Dia lebih berharga dari hidupku!"
"Kau bahkan mengambil suami yang aku cintai. Lupa?"
"Aku akan mengembalikan milikmu, asalkan putriku bisa selamat!"
Terdengar langkah kaki menjauh, suara pintu yang dibuka, lalu segera ditutup kembali, diikuti hempasan tubuh ke sofa.
*
Tiara menyimpan sepenggal percakapan usang ini, sampai dia berusia tujuh belas tahun. Dia sulit melupakan tekanan suara ibunya saat itu, memohon agar dokter Grace Alley mau menyelamatkan hidupnya.Â
Operasi bedah saraf berjalan lama dan menegangkan. Namun ketika dokter nyentrik itu menemui ibunya, sebuah kelegaan disertai rasa syukur terucap berkali-kali.Â
Sejak peristiwa itu, dan selama proses pemulihan, dia sering melamun memikirkan mengapa ayahnya kemudian meninggalkan dia dan ibunya? Sebenarnya apa arti percakapan yang didengarnya saat itu?
Dia merasa dirinya masih terlalu kecil dan tidak memahami semuanya. Dia baru berusia hampir sebelas tahun saat itu. Apalagi semua orang tampak fokus pada jahitan di wajahnya serta sebelah kakinya yang patah.
Lebih buruk lagi dia harus putus sekolah karena  menjalani terapi dalam waktu yang lama. Kunjungan siapa pun pada akhirnya akan membuatnya kembali merasa sunyi. Setiap waktu dia mendengar irama jarum jam di dinding dengan bosan, sampai ibunya muncul dengan wajah sedih.
Dia tahu ibunya sangat mencemaskan dirinya. Wanita yang dicintainya itu merawatnya tanpa rasa lelah. Seringkali saat matanya memejam seperti orang tertidur, dia mendengar ibunya menangis di sisi tempat tidur. Dia penasaran mengapa ibunya begitu sedih, tetapi jika dia bertanya, mungkin ibunya akan terluka. Â
Barulah dia menemukan titik terang masalah ini. Saat ulang tahunnya ke tujuh belas. Seorang tetangga berbisik hati-hati ke telinganya.Â
Dia mengerutkan alisnya setelah mendengarkan. Dia tak percaya ayahnya menikahi dokter Grace Alley sebelumnya.
Dia merasakan hidupnya telah ditukar. Ibunya melepaskan ayahnya demi sebuah perjanjian. Dan karena itulah ibunya selalu menangis di sisi tempat tidurnya. Ya Tuhan!
*
Suatu ketika saat dia hanya sendirian di rumah, dokter Grace Alley datang menemuinya dan menanyakan keadaannya. Dia menangis saat menatap wajah dokter itu dalam-dalam.
"Dokter Grace Alley, Anda begitu cantik dan juga baik hati."
Dokter Grace Alley tersenyum tipis. "Ada apa, Nak? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Dia menjatuhkan air matanya saat tangannya terasa digenggam.
"Dapatkah aku bertanya sesuatu padamu, Dokter?"
Dokter Grace Alley mengangguk.
"Apakah ayahku pernah menikah dengan Anda sebelumnya?"
Dokter Grace Alley tampak bingung.
"Siapa yang telah menghasutmu, Nak?"
"Dia adalah tetangga kami. Dia menjawab rasa penasaranku kenapa ayah tiba-tiba meninggalkan ibu dan aku..."
"Sayang, kita tidak harus memercayai apa yang kita dengar dari orang lain, bukan?"
Dokter Grace Alley menyeka air matanya dengan tisu. Tampak dia sangat sayang padanya.
"Jika ayahku meninggalkan Anda karena pernikahan itu tidak melahirkan seorang bayi di antara kalian, mengapa Anda meminta ayah meninggalkan kami?"
Wajah dokter Grace Alley memerah. Dia merasa diadili oleh gadis ingusan di depannya. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
*
Dia sudah berusia dua puluh satu tahun, pagi itu. Dia sudah berhenti menangis, meski pipinya masih basah. Semalaman dia menangisi ibunya yang terbujur kaku penuh darah.Â
Kini kediaman mereka sudah dipenuhi para pelayat. Dia melihat ayahnya dan petugas kepolisian beberapa kali terlibat pembicaraan di sudut ruangan. Tetapi dia tidak melihat dokter Grace Alley sampai ibunya dimakamkan.
Dia berbaring di kamarnya setelah keadaan sepi. Dia melihat ke arah jendela yang tirainya masih terbuka. Dia tahu beberapa keluarga ayahnya bermalam untuk menemaninya. Dia juga sempat mendengar salah satu dari mereka bertanya siapa yang akan mengurusnya setelah ini?
Dia memang tidak ingin tinggal dengan ayahnya sejak ayahnya memilih kembali kepada dokter Grace Alley. Dia tidak habis pikir laki-laki seperti ayahnya tega meninggalkan ibunya.Â
Dia terus memikirkan mengapa ibunya dibunuh. Siapa yang tega melakukannya? Apakah ibunya punya musuh? Tetapi siapa?
*
Dia membuka matanya, begitu seseorang mencium keningnya.Â
"Dokter Grace Alley?"
Dia menatap sekeliling. Dia ingat akhir-akhir ini tak mau makan. Dia terus memikirkan hidupnya, sampai dia mendengar ayahnya menelepon ambulans.Â
"Kami membawamu ke rumah sakit untuk dirawat sampai benar-benar sembuh. Kurasa kau terlalu memikirkan ibumu sampai kau sakit."
Dia menatap wajah dokter Grace Alley dengan sedih.
"Mengapa Anda tega memisahkan aku dan ibuku, Dokter? Apa salah ibuku?"
Dokter Grace Alley mengerutkan kedua alisnya.
"Apa maksudmu, Nak?"
"Dokter membunuh ibuku pada malam itu. Aku mendengar ibuku menjerit menyebut nama Anda. Aku ingin melihat apa yang terjadi tetapi kamarku terkunci."
"Aku tidak pernah membunuh ibumu, Nak."
"Anda bohong!"
"Anda cemburu karena ayahku lebih mencintai ibuku, bukan?"
"Itu tidak benar, Sayang."
Dia menepis tangan dokter Grace Alley yang ingin membelai kepalanya.
"Aku mendengar ayahku ingin menceraikan Anda. Itu cukup membuatku yakin Anda pelakunya."
Dokter Grace Alley berdiri dari duduknya, menatapnya sebentar, lalu pergi ke arah pintu. Dia mendengar suara pintu dibuka, lalu ditutup kembali.
***
Kota Kayu, 8 Februari 2024
Cerpen Ika AyraÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H