Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vulture

8 Januari 2024   09:42 Diperbarui: 8 Januari 2024   10:05 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya aku memang menilai kalau toko Bu Mar lebih lengkap dan harganya lebih murah. Selain itu, Bu Mar juga selalu ramah  kepada pembeli. Tetapi setelah dua tahun berlangganan, akhirnya aku kecewa juga.

Suatu ketika, aku memesan kelapa berukuran besar untuk diparut. Saat lelaki itu mulai mengupas tempurung kelapa, aku mengambil kantong plastik yang disediakan untuk menampung air kelapa. Biasanya aku mendinginkan di lemari es tetlebih dahulu sebelum meminumnya bersama anak-anak. Rasanya begitu alami dan segar.

Ternyata parang yang digunakan lelaki terlalu tajam dan membuat kelapa nyaris terbelah. Aku buru-buru menadahkan kantong plastik yang kupegang. Sayang air kelapa dengan cepat mengguyur jari-jari tangan lelaki itu. Air yang masuk ke kantong plastik bukannya bening seperti biasa, tetapi sedikit keruh dan kuning. Aku yakin debu serta keringat di tangannya telah luntur detik itu juga.

Dan hari ini, aku benar goblok karena sengaja datang demi beberapa tangkai daun kemangi. Sebab sudah hampir seminggu bayangan pepes ikan maknyus menari-nari di kepalaku.

"Ini kemangi. Mau beli berapa?"

Aku menatap dengan kecewa. Itu adalah kemangi sisa kemarin. Daunnya kecil dan tua, sementara aku mencari kemangi yang benar-benar segar dan umurnya sedang.

"Ada stok baru?" tanyaku berusaha tidak terjebak.

"Belum ada. Di pasar juga kosong, kemarin." 

Baguslah, lelaki itu tidak memaksaku untuk membeli. Lebih baik aku segera pergi sebelum dia berubah pikiran. 

Sekilas kulihat matanya menyamai tatapan burung yang kuceritakan. Mirip tatapan menunggu kematianku. Darahku berdesir menahan rasa takut.

"Bukankah itu juga kemangi? Kenapa orang sepertimu amat cerewet saat belanja di toko kami? Apakah semua pelanggan harus menolak sayur sisa kemarin? Biar kami bangkrut, iya? Bukannya orang dilarang membuang-buang makanan, ya? Kasihan  petani susah-payah menanam!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun