Sejak desa Hopecountry tercoreng namanya, aku dan Storm seperti hidup di neraka. Orang-orang mencibir dengan ocehan yang tak semuanya mereka ketahui.
"Sudah terlambat untuk mencintai Isaura!" tukas ibu mertuaku. Saat mendengar kabar Isaura akan dijemput ibunya pagi ini, beliau buru-buru berkunjung.Â
Sejak awal, ibu suamiku selalu mendukung gadis itu. Bahkan dia sudah seperti malaikat pelindung bagi Isaura. Tidak heran bila ia terus menyindir seperti itu.
Sebenarnya aku hanya sedikit khawatir tentang siapa yang akan membantu untuk membereskan  pekerjaan rumah.Â
Awal kesulitan ini disebabkan nona Lynn muncul secara tiba-tiba. Dia mengaku diutus pihak sekolah untuk membantu Isaura belajar selama proses pemulihannya.Â
Aku benar-benar  menyesal sudah menerimanya tinggal bersama kami. Ternyata itu hanyalah cara untuk memata-matai kasus kekerasan yang dilakukan Storm. Dan sialnya, dia berhasil menemukan jati diri Isaura.
"Sayang, ayo berpamitan pada Nyonya Bake dan saudara-saudaramu!" katanya dengan senyum menyebalkan.Â
Gadis itu melangkah ke arahku dan memeluk cukup lama, sampai aku merasa dia sebenarnya tak ingin pergi bersama ibu kandungnya.Â
"Mama, kami akan datang lagi untuk merayakan tahun baru bersama kalian. Terima kasih telah merawat dan mencintaiku selama ini. Aku sayang kalian..."
Itu tidak benar! Aku tidak pernah menganggap Isaura bagian dari keluarga ini.Â
Aku tidak memperlakukannya dengan baik ketika dia masih kecil, dan selalu membuatnya sibuk dengan berbagai pekerjaan rumah saat dia beranjak remaja. Mulai dari menyapu, mengepel, serta menjaga anak-anakku. Sampai tak cukup waktu baginya untuk beristirahat atau mengerjakan PR sekolahnya.
Jika ada orang yang peduli pada kebahagiaan gadis itu, dia adalah ibu mertuaku. Aku juga akan ditegur bila Isaura terlihat memakai pakaian kumal atau sobek sedikit.Â
Rasanya benar-benar melelahkan.Â
Orang-orang di luar sana, tidak menyadari bagaimana aku merasa sangat terpaksa dengan kehadiran Isaura di rumah ini.Â
Memasuki tahun kedua pernikahanku dan Storm, aku mendapat ultimatum agar segera hamil, atau Storm akan dinikahkan dengan gadis lain.Â
Kami pun akhirnya mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan untuk memancing kehamilanku.Â
Meskipun kasus kekerasan beberapa waktu yang lalu sempat mencuat, sebenarnya apa yang dilakukan Storm terhadap Isaura, bukanlah hal yang disengaja. Saat itu putra bungsu kami menangis keras karena tangannya terjepit pintu. Tahu siapa yang melakukannya? Tentu saja gadis tidak tahu diri itu!
Baru saja pulang dari bekerja, dan keributan ini memicu Storm memukul gadis itu. Kebetulan mengenai kepalanya hingga mengeluarkan darah. Entah bagaimana kemudian masalah ini sampai ke polisi dan ditulis di koran.
Aku sempat berpikir jika gadis itu membawa sifat buruk orang tua kandungnya. Sikapnya yang manja dan lamban, serta sopan-santun yang sulit diterapkannya.
"Sampai jumpa, Nyonya Bake. Kami pamit," nona Lynn menyalami tanganku dan memelukku. Lalu sebuah mobil membawa mereka meninggalkan desa yang makin dipenuhi bisik-bisik menyebalkan.
*
"Sayangku, sudah dua hari kau berubah menjadi es. Membeku di situ!" Storm membuka topinya, menggantung jaketnya ke dinding, dan duduk bersandar di sebelahku.Â
"Hey, bau keringatmu, jangan dekat-dekat!"
"Baiklah, aku akan mandi, mengganti pakaianku, memakai parfum bayi, lalu memasak makan malam untukmu. Tapi apakah kau tidak akan menghabiskan makanan lagi seperti yang terjadi dua hari ini?"
Aku diam. Aku tahu Storm berusaha terlibat dan memberikan empati terhadap apa yang sedang kurasakan. Tapi tidak ada yang menarik dari kata-kata itu. Storm tidak bisa menghiburku sebab tidak semudah itu menghilangkan perasaan sedih.
Biasanya, saat aku mulai gelisah tentang sesuatu, Isaura datang dengan secangkir teh hangat. Gadis itu juga menawarkan pijatan di bahu sampai ke punggung. Mungkin dia tak terlalu ahli, tapi aku bisa merasakan kepeduliannya. Dan dia mengerti dati arah mana seharusnya dia datang.
Masih ada lagi.Â
Setelah melahirkan bayi ketiga kami, Storm membawaku ke rumah sakit karena kondisi fisikku terus menurun, ditambah kebiasaanku berhalusinasi.Â
Saat itu Isaura masih berusia sepuluh tahun, namun dia tampak sangat memahami situasi yang terjadi. Dia meninggalkan teman-temannya untuk menjagaku setiap hari. Dia terus berada di sisi tempat tidur rumah sakit dan kudengar dia memanjatkan doa sepanjang malam.
"Sayangku, lihat makan malam sudah siap. Oat meal kesukaanmu dengan daging ayam panggang. Makanlah! Ini baik untuk jantungmu." Aku memandangi mangkuk di depanku dan berpikir apakah aku akan memakannya atau tidak?
Storm menatapku seperti memohon sesuatu. Aku tahu dia mengkhawatirkan jika aku mati maka dia pun akan mati. Lalu bagaimana nasib Daniel, Bets, dan Harry?
"Kau memikirkan gadis itu?"
"Siapa?"
"Maksudku Isaura. Kau merasa sakit hati karena ibu kandungnya mengambilnya dari kita?"
"Kau tahu kan...."
"Pssstt... Aku akan mendengarkan, tapi sambil habiskan makanannya, oke?"
Tak ada pilihan. Aku mengangguk.
"Itu tidak adil, bukan? Kita merawat Isaura dan memberinya susu sampai dia kenyang. Kau mengantarnya ke sekolah saat usianya lima tahun. Lalu tiba-tiba mereka mengatakan kau ayah angkat yang kejam dan tidak berperasaan!"
"Iya, tetapi polisi tidak menahanku, Sayang. Polisi tidak menganggap aku jahat..."
"Itu karena ibumu mempertaruhkan nama baiknya. Tetapi orang-orang terus saja mencibir kita, kan?"
Storm meletakkan sendoknya, mengembuskan napas sebentar, lalu menatapku lagi.
"Bukankah kau tak sepenuhnya suka padanya?"
Ingatanku berputar.Â
Storm benar. Aku tak pernah menyukai bahkan ketika Isaura masih bayi dan semua orang menganggap kami mempunyai wajah yang hampir mirip. Bagiku cintaku kepada Storm jauh lebih penting dan aku tidak ingin kami dipisahkan hanya karena aku belum hamil.Â
Pada pagi di hari dia akan dijemput ibu kandungnya, aku pun masih merasa tidak suka pada gadis itu. Dengan santai dia menikmati sarapan di meja makan, sementara kami belum makan apa-apa.Â
Dia sama sekali tak tahu persediaan makanan mulai menipis dan roti sourdough adalah makanan terakhir yang kami miliki.Â
Sudah kukatakan gadis itu sulit untuk diajarkan sopan-santun, dan hanya memikirkan perutnya yang lapar.Â
Pernah terjadi peristiwa yang membuat aku hampir mengusirnya dari rumah. Saat itu seisi rumah sibuk dengan persiapan Natal, buah cherry yang seharusnya masih utuh dalam toples, tersisa kurang dari sepuluh tangkai saja. Isaura memakannya diam-diam setiap hari saat aku tidur siang atau keluar rumah.Â
"Aku punya kabar baik untuk keluarga kita." Storm mulai menggenggam tanganku, dan menunggu aku menunjukkan rasa penasaranku.
"Apa?"
"Aku tidak harus berjualan lagi di pasar. Kau benar tentang orang-orang mulai tak suka berbelanja di toko kita. Mereka menghakimi dengan cara seperti itu. Tapi mulai sekarang kita akan banyak uang."
Aku membuka mulutku lebar-lebar, menatap Storm bangkit dan mendekati jaket yang tergantung di dinding.
"Nona Lynn menemuiku dan memberikan buku tabungan. Jumlahnya sangat besar, Sayang!"
Aku memeriksa benda yang diberikan suamiku. Membaca setiap kata di sana dengan teliti.
"Foto Isaura dan ibunya menjadi berita utama media massa. Nona Lynn kemudian dijemput keluarga suaminya dan mereka akan menikah kembali."
"Jadi?"
"Iya, Sayang. Isaura adalah cucu saudagar kaya di kota. Dan kurasa dengan kejadian ini kita tidak akan bertemu gadis itu lagi. Sudah terlambat untuk mencintai Isaura!"
***
Kota Kayu, 14 Desember 2023
Cerpen ini disertakan dalam sayembarapulpenX
Ika Ayra, senang menulis cerpen
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI