"Sayangku, sudah dua hari kau berubah menjadi es. Membeku di situ!" Storm membuka topinya, menggantung jaketnya ke dinding, dan duduk bersandar di sebelahku.Â
"Hey, bau keringatmu, jangan dekat-dekat!"
"Baiklah, aku akan mandi, mengganti pakaianku, memakai parfum bayi, lalu memasak makan malam untukmu. Tapi apakah kau tidak akan menghabiskan makanan lagi seperti yang terjadi dua hari ini?"
Aku diam. Aku tahu Storm berusaha terlibat dan memberikan empati terhadap apa yang sedang kurasakan. Tapi tidak ada yang menarik dari kata-kata itu. Storm tidak bisa menghiburku sebab tidak semudah itu menghilangkan perasaan sedih.
Biasanya, saat aku mulai gelisah tentang sesuatu, Isaura datang dengan secangkir teh hangat. Gadis itu juga menawarkan pijatan di bahu sampai ke punggung. Mungkin dia tak terlalu ahli, tapi aku bisa merasakan kepeduliannya. Dan dia mengerti dati arah mana seharusnya dia datang.
Masih ada lagi.Â
Setelah melahirkan bayi ketiga kami, Storm membawaku ke rumah sakit karena kondisi fisikku terus menurun, ditambah kebiasaanku berhalusinasi.Â
Saat itu Isaura masih berusia sepuluh tahun, namun dia tampak sangat memahami situasi yang terjadi. Dia meninggalkan teman-temannya untuk menjagaku setiap hari. Dia terus berada di sisi tempat tidur rumah sakit dan kudengar dia memanjatkan doa sepanjang malam.
"Sayangku, lihat makan malam sudah siap. Oat meal kesukaanmu dengan daging ayam panggang. Makanlah! Ini baik untuk jantungmu." Aku memandangi mangkuk di depanku dan berpikir apakah aku akan memakannya atau tidak?
Storm menatapku seperti memohon sesuatu. Aku tahu dia mengkhawatirkan jika aku mati maka dia pun akan mati. Lalu bagaimana nasib Daniel, Bets, dan Harry?
"Kau memikirkan gadis itu?"