Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Cerpen Bergaya 'Terjemahan' Akhirnya Menempatkan Saya pada Dugaan Plagiat

17 Oktober 2023   20:50 Diperbarui: 17 Oktober 2023   21:38 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, hampir lupa kalau saya genap tiga tahun bergabung di Kompasiana. Baru tersadar ketika sebuah "komentar tak sedap" membunyikan lonceng notifikasi pada akun saya.

terjemahan kah?

https://kraut-kopf.de/aufsland-rensow/

saya baru baca 2 paragraf awal dari cerpen aslinya yang bahasa Jerman itu. mirip sih 😬

Sesaat saya berpikir, sudah selama itu akhirnya ada Kompasianer lawas, pernah menyabet The Best Fiksianer, yang terburu-buru berkomentar demikian di bawah cerpen headline saya.

Sedih? Pastinya!

Saya sedih kenapa saya terlambat mengenal sosok ini. Seandainya dulu kami bareng-bareng aktif nyerpen di Kompasiana, mungkin kami bisa saling berinteraksi dan mengapresiasi. Seperti yang terjadi saat ini antara saya dan sejumlah Kompasianer yang tergabung dalam grup Pencinta Cerpen yang digagas cerpenis Edward Horas Simanjuntak.

Setelah sepuluh tahun rehat dari menulis, Mbak Des hadir dengan cerpen terbarunya, sekaligus menemukan cerpen Hantu di Sekolah Tua Rensow yang saya tulis.

Sejujurnya cerpen ini lahir setelah saya membaca sebuah artikel berbahasa Jerman di sebuah situs liburan. 

Pada saat itu saya begitu terpukau dengan perasaan penulisnya. Dia menggambarkan tempat yang dikunjunginya sebagai sesuatu yang indah meski berasal dari masa lampau dan dengan sentuhan yang sangat sederhana saja. Seperti judul yang tertulis di sana, Keindahan Kesederhanaan Sebuah Perjalanan.

Setelah menanggapi komentar ini dengan sopan, saya berpikir apakah pilihan saya untuk menyenangi gaya terjemahan ketika menulis cerpen di blog publik Kompasiana, adalah salah? Seketika sifat overthinking yang saya miliki muncul. 

Sebagus itukah karya saya sampai pembaca memerhatikan lebih? Apakah ini bentuk apresiasi ataukah ketidakpuasan? Mengapa seseorang tersebut bisa memberikan komentar lanjutan yang lebih parah seakan-akan dia tidak terima? Bukankah saya menyertakan nama situs di bawah gambar dan keterangan bahwa saya terinspirasi darinya? Apakah itu artinya dia meragukan kerja admin sebelum dia sendiri membandingkan kedua karya tersebut?

Saya mencoba membuka pikiran untuk tidak menganggap seseorang melakukan hal yang tidak baik terhadap saya. Mungkin ini adalah cara Mbak Des membuka perkenalan dan pertemanan dengan saya. Siapa tahu?

Tetapi pagi yang cerah tiba-tiba menjadi buruk karena hidung menguar panas. Apakah itu pertanda saya sebegitu terganggu? Seberat itukah dampaknya?

Saya terus merenung dan introspeksi diri. 

Beberapa hari sebelum ini, saya sempat mengisi survey dari Kompasiana. Di sana saya menitipkan masukan agar admin memperhatikan kasus plagiat yang terjadi beberapa kali di kategori Bola. Lalu, apakah saya sendiri seorang pelaku salin-tempel karya orang lain?

Sejak awal bergabung di "rumah bersama" ini, saya memang menayangkan karya cerpen sebelum akhirnya diselingi artikel parenting atau lainnya. Tujuan saya untuk menyumbang literasi bagi adik-adik di bangku sekolah, sebagaimana dulu saya sangat senang membaca novel ataupun cerita pendek di perpustakaan. Tak sedikit pun saya mengetahui tentang adanya K-reward meski selama setahun penuh kemudian saya mendapatkannya. Apalah lagi hal mengakui karya orang lain sebagai karya saya?

Meskipun dua Kompasianer senior berulang mengingatkan saya untuk membuat Kumcer, saya sadar tidak bisa membuat seseorang sekonyong-konyong percaya, terkecuali mereka yang terbiasa membaca cerpen saya dan mengatakan saya mempunyai ciri khas. Seperti kata pepatah: tak kenal maka tak sayang.

Alhamdulillah, beberapa sahabat Kompasianer memberikan dukungan agar saya tetap semangat dan tidak terbeban dengan masalah ini. Mereka tulus meluangkan waktu untuk menyimak cerpen Hantu di Sekolah Tua Rensow dengan naskah asli The Beauty of Simplicity by Kraut Kopf. Sekaligus mereka memberikan beberapa catatan berharga.

Nah, jika di antara Anda ada yang menyukai gaya bertutur yang sama dengan saya saat menulis cerpen, berikut tips agar pembaca tidak mudah menduga Anda plagiat:

  • Hindari penggunaan sudut pandang (POV) yang sama dengan sumber inspirasi cerpen
  • Hindari pula kesamaan tempat, nama tokoh, serta detil lainnya
  • Ciptakan alur yang berbeda dan kuat

Wasana kata

Sebenarnya saya cukup banyak menulis cerita dengan gaya terjemahan. Beberapa Kompasianer pernah bertanya dalam percakapan pribadi apakah karya ini asli? Tetapi mereka bertanya dengan hati-hati dan sopan.

Kali ini saya merasa ada yang menohok tanpa pernah saling kenal sebelumnya. Sebuah pelajaran berharga di hari jadi yang ke-3 tahun sebagai Kompasianer. 

***

Koya Kayu, 17 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun