Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Tak Benar-benar Pergi

28 Juli 2023   10:03 Diperbarui: 8 November 2024   06:30 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mulai mengerti, mengapa kita belum dikaruniai seorang anak selama lima tahun ini. Bukan soal kau sedang tidak ingin melakukannya karena serangan gerd yang muncul sepanjang minggu, atau hal-hal lainnya. Sebuah  makam di belakang rumah kita, telah mengganggu ketenanganmu, bahkan saat kita harus merasakannya di tengah irama hujan.

Mungkin seharusnya pernikahan kita tidak perlu ada. Setidaknya, kau harus benar-benar siap lebih dulu. Membawa rahasia tentang seseorang di masa lalu, telah memberimu penderitaan. Aku menyesal itu terjadi padamu. 

Bermula dari kondisimu yang menurun akhir-akhir ini, aku pun mengambil sedikit cuti  untuk menemanimu di rumah.

Hampir seharian kau hanya mengurung diri di kamar, setelah minum obat dan sedikit makan. Kuputuskan untuk menunggumu di sofa.

Akhirnya kau membuka pintu kamar, berjalan pelan ke arah pintu belakang. 

Mulanya aku mengira kau akan memetik beberapa bunga yang tumbuh di sana dan meletakkannya di meja seperti biasa. Aku tidak keberatan meski kadang bau mereka mengganggu selera makanku. 

Kupikir kau merasa bahagia dengan bunga-bunga itu. Tidak apa, pada akhirnya bau itu akan hilang dengan sendirinya.

Dugaanku salah. Kau tidak memetik bunga. 

Kau duduk di atas rerumputan sambil menunduk, dan mungkin juga berbicara. Entahlah, karena memang tak terlihat siapa-siapa di sana. Aku juga sulit mendengar apa yang kau ucapkan.

Aku terus mengamati sambil menduga-duga. Mungkin kau sedang menggunakan earphone dan menelepon seseorang? Atau kau justru semacam berhalusinasi?

Tidak, jangan. Kau memang sering tampak murung belakangan ini. Tapi aku tidak harus berpikir buruk saat ini.

Aku bertambah penasaran, tetapi aku harus menahan diriku. Tidak baik jika aku membuatmu merasa curiga dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. Lebih baik kuselidiki saja masalah ini.

*

Hari ini aku sengaja bangun lebih awal. Aku ingin memeriksa halaman belakang rumah kita. Sayangnya aku tak menemukan petunjuk apapun di sana.

Saat berada di kantor, aku tak sabar menunggu jam istirahat makan siang. Aku ingin memeriksa rekaman kamera pengintai. 

Beberapa saat berlalu, dan aku sangat heran dengan apa yang kutemukan.

Kau terlihat beberapa kali duduk di titik yang sama, membelai tanah yang ditumbuhi rumput liar, dengan raut wajah sedih. Kukira kau sedang berdoa, atau menangis.

"Sayang, apakah kau benar-benar harus melakukan ini semua? Tetapi apa alasannya?" keluhku sambil mengepalkan tangan dan membuat beberapa orang melirik.

*

Suatu pagi kau bangun lebih cepat dari biasanya. Kau membangunkanku juga karena katamu ini akan menjadi hari yang sibuk. 

Terus terang sejak kejadian itu aku menjadi sulit tidur. Kepalaku dipenuhi berbagai prasangka tentang sesuatu yang buruk. 

Sebelum pergi ke kamar mandi, aku mengamati bagaimana kau merias diri di depan cermin. Wajah yang sempurna meski kau tinggal menambahkan riasan tipis dan lipstik merah kesukaanmu.

Aku begitu mencintaimu, tetapi aku tidak tahu apakah kau sudah merasa bahagia dengan cinta itu? Apakah aku sudah menjadi pasangan seperti yang kau harapkan yang akan membuatmu takut kehilanganku?

"Hey, kenapa melamun? Papa dan mama akan segera datang untuk merayakan anniversary mereka. Kita akan memasak daging panggang kesukaanmu dan kau yang membuat acar..."

Aku terperanjat. "Tentu, Sayang..." sahutku buru-buru. Bahkan dengan muka membentak pun, kau tampak cantik sempurna!

*

Semua berjalan lancar. Aku turut senang melihat hari ini kau banyak tertawa. Mamamu memang sangat pandai menyenangkan hati putrinya. 

Tuan dan Nyonya Hamilton memang orang tua yang hebat. Lihat saja, untuk menantu sepertiku mereka repot-repot membawa puding leci paling enak yang tidak dijual di luaran sana. 

Keduanya selalu memperlakukan spesial orang-orang yang mereka sayangi. Sepertinya dengan hidup berkasih sayang mereka bisa menambah umur panjang. Seperti mendapatkan berkat yang luar biasa!

"Apa yang kau pikirkan?" bisik ayah mertua sambil memberi kode untuk mengikutinya. 

Aku tahu tuan Hamilton sangat suka berkebun. Setiap kali mengunjungi anaknya, dia akan pergi ke belakang rumah dan merapikan apa saja di sana. 

Biasanya ayah mertua menanam bibit tanaman baru dan bertanya manakah tanaman yang mulai mendapat gangguan hama. 

"Setiap musuh tanaman pasti ada solusinya. Sebaiknya jangan menunggu tanaman itu mati secara perlahan."

Aku mengangguk mengerti dan mulai merapikan tanaman anggur yang mulai rimbun.

"Halo, Rein. Semoga kau tenang di sana..." 

Aku menoleh. Tuan Hamilton sedang berjongkok di tanah. Posisinya persis sama dengan yang kau lakukan.

Aku berjalan mendekat dan ikut berjongkok juga.

"Siapa yang Anda maksud, Tuan?" tanyaku penasaran.

Aku baru sadar adanya gundukan tanah yang dikelilingi batuan kecil. Sebagian tertutup oleh tumbuhan ercis yang menjalar ke pohon di dekatnya. 

Sepasang mata tuanya segera menatapku dalam-dalam, lalu berjalan pelan menuju bangku kayu. Aku mengikuti dengan perasaan bingung.

"Apakah Anna tidak pernah mengatakannya?" tanya tuan Hamilton pelan.

Aku menatap serius, lalu menggeleng pelan. Ada nuansa kesedihan yang tiba-tiba terbentuk dari garis di dekat bibirnya.

"Akan kuceritakan agar tidak ada kesalahpahaman di antara kau dan putriku."

Aku menggenggam tangan ayah mertua dan mengangguk.

"Anna pernah bertunangan dengan pria muda bernama Rein. Mereka hampir menikah kalau saja kecelakaan itu tidak merenggutnya dari putri kami."

"Itu sangat buruk!" kataku.

"Ya. Dan Anna meminta agar Rein dimakamkan di sini agar dia mudah menziarahinya," suara tuan Hamilton semakin serak.

Aku sendiri tak bisa berkata-kata, selain menutup wajahku penuh penyesalan. Ternyata wanita yang selalu memberikan senyumnya, memendam luka jauh di dalam hatinya tanpa pernah kusadari.

Pasti sulit sekali menjadi seperti dirimu. Kau harus bangkit melanjutkan hidupmu ketika impian itu sudah hancur. Kau memulai cinta yang baru denganku dengan sisa-sisa kekuatanmu. Berusaha meyembunyikannya dariku agar aku tidak kecewa. Kau telah berkorban sebesar itu dan aku tak menyadarinya sama sekali. Aku malah ingin memiliki bayi dari pernikahan kita. Suami macam apa aku ini!

Kurasakan tangan ayah mertua menepuk punggungku dan menatap ku dengan pipi yang memerah. 

"Aku tahu kau tidak menyukai ini," suaranya seperti bisikan.

"Tidak, Tuan. Saya senang mengetahuinya dari Anda."

Tuan Hamilton perlahan bangkit, lalu berjalan menjauhiku. Langkahnya begitu pelan seperti seseorang yang kehilangan harapan. Itu pasti tentang putrinya 

Aku berjalan ke arah makam yang hampir tidak terlihat, dan hanya menyerupai tanah biasa yang ditumbuhi tanaman ercis, tanpa sebuah nama tertulis di sana. Sebentuk wajah murung seketika memenuhi pelupuk mataku.

Sayang, aku tidak akan menyalahkan jika cintamu kepada Rein tidak benar-benar pergi dari hatimu. Aku akan membantumu merawat luka itu sampai semuanya kembali normal.

Aku mengusap rumput liar di depanku, sambil membayangkan sesosok pria muda dengan senyum ramah.

"Rest in peace, Rein..."

***

Kota Kayu, 28 Juli 2023

Foto dokpri
Foto dokpri

Ayra Amirah, seorang istri dan ibu dari tiga putri yang suka membaca cerpen terjemahan. Menulis cerpen dan artikel parenting di Kompasiana sejak 2020

Cerpen ini telah diedit kembali untuk keperluan cetak buku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun