Aku mulai mengerti, mengapa kita belum dikaruniai seorang anak selama lima tahun ini. Bukan soal kau sedang tidak ingin melakukannya karena serangan gerd yang muncul sepanjang minggu, atau hal-hal lainnya. Sebuah makam di belakang rumah kita, telah mengganggu ketenanganmu, bahkan saat kita harus merasakannya di tengah irama hujan.
Mungkin seharusnya pernikahan kita tidak perlu ada. Setidaknya, kau harus benar-benar siap lebih dulu. Membawa rahasia tentang seseorang di masa lalu, telah memberimu penderitaan. Aku menyesal itu terjadi padamu.Â
Bermula dari kondisimu yang menurun akhir-akhir ini, aku pun mengambil sedikit cuti  untuk menemanimu di rumah.
Hampir seharian kau hanya mengurung diri di kamar, setelah minum obat dan sedikit makan. Kuputuskan untuk menunggumu di sofa.
Akhirnya kau membuka pintu kamar, berjalan pelan ke arah pintu belakang.Â
Mulanya aku mengira kau akan memetik beberapa bunga yang tumbuh di sana dan meletakkannya di meja seperti biasa. Aku tidak keberatan meski kadang bau mereka mengganggu selera makanku.Â
Kupikir kau merasa bahagia dengan bunga-bunga itu. Tidak apa, pada akhirnya bau itu akan hilang dengan sendirinya.
Dugaanku salah. Kau tidak memetik bunga.Â
Kau duduk di atas rerumputan sambil menunduk, dan mungkin juga berbicara. Entahlah, karena memang tak terlihat siapa-siapa di sana. Aku juga sulit mendengar apa yang kau ucapkan.
Aku terus mengamati sambil menduga-duga. Mungkin kau sedang menggunakan earphone dan menelepon seseorang? Atau kau justru semacam berhalusinasi?
Tidak, jangan. Kau memang sering tampak murung belakangan ini. Tapi aku tidak harus berpikir buruk saat ini.