Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ada Sedikit Godaan dan Wewangian Malam Ini

6 Mei 2023   22:40 Diperbarui: 10 Mei 2023   20:45 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyonya Almaide terpaku di sisi jendela kamarnya, memandang hujan di luar pada tengah malam itu. Terus berlama-lama, sampai dia semakin tenggelam dalam kesepiannya.

"Seandainya kau masih tergeletak di atas tempat tidur kita, aku pasti langsung memelukmu dengan hangat," bisiknya pelan.

Memang, sudah lama ini nyonya Almaide terus terkenang-kenang pada mendiang suaminya, tuan Pieter. Nyonya Almaide bahkan sangat menderita. Kematian Tuan Pieter dirasakannya sebagai sesuatu yang datang tiba-tiba.

Bagaimana pun nyonya Almaide dilanda rasa bersalah karena selama ini tidak terlalu menghiraukan suaminya. 

Baginya, menahan gejolak karena perusahaan suaminya berada di ambang kebangkrutan, sudah memerlukan fokus tersendiri. Ditambah lagi mengurus kedua putrinya yang salah satunya mengidap down syndrome sejak kecil.

Pernikahan ibarat kapal yang menempuh perjalanan dengan tantangan angin badai. Nyonya Almaide tidak bisa memaksa cuaca selalu cerah agar sampai dengan selamat. 

Tetapi, saat tuan Pieter dimakamkan dan pelayat menyampaikan bunga duka-cita, beberapa orang menatap nyonya Almaide dengan tatapan menghakimi. Nyonya Almaide dianggap telah menelantarkan tuan Pieter. 

"Seseorang telah menabrak mobilnya hingga dia dan putri kami tewas!" ungkap wanita itu seraya menutup wajahnya dengan tangan. 

Di kepalanya, ingatan tentang kecelakaan membayang amat jelas. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba datang dari arah berlawanan dan menghantam mobil suaminya hingga....

"Seharusnya kalian bercermin, bisakah menjadi istri yang setia dan bersabar?" katanya histeris. Dia merasa marah karena orang-orang tidak berusaha memikirkan apa yang dia rasakan selama ini.

Sejak kelahiran putri keduanya, perusahaan tuan Pieter terus merosot dan jatuh. Nyonya Almaide hampir putus asa karena keluarga suaminya bahkan menganggap kelahiran baby Ellis sebagai pembawa sial. 

Sepeninggal tuan Pieter, tak seorang pun kerabatnya mempedulikannya atau datang menghibur. 

Dia mulai menyamakan hubungannya dengan sang suami, seperti kertas putih yang terus-menerus diberi coretan. Setelah penuh, seseorang akan menumpuknya begitu saja di sudut meja sampai suatu hari membutuhkan kertas putih yang baru.

"Mengapa kau membiarkan aku mengabaikanmu? Lihatlah sekarang aku merasa sangat kehilanganmu..." 

Nyonya Almaide menyadari belum puas mendampingi tuan Pieter semasa hidupnya. Dia pun semakin dibelenggu rasa bersalah.

Tapi waktu tidak bisa diulang. Suaminya telah abadi di alam sana. Dia tidak pernah bisa kembali untuk memperbaiki semuanya.

***

Selintas tercium wewangian yang sangat dia kenal. Hmm... dia menikmatinya.

Tuan Pieter biasa meletakkan botol minyak wangi di sudut-sudut kamar mereka. Wewangian jenis floral dengan sedikit aroma manis itu sangat romantis untuk menggoda mereka berdua sebagai suami-istri.

Seringkali dia menolak suaminya karena perasaan sedih dan cemas yang ditanggungnya. 

Tuan Pieter sadar seharusnya nyonya Almaide ditangani seorang ahli. Tapi apa boleh buat.

Dengan lembut suaminya menghibur nyonya Almaide agar melupakan peristiwa apapun yang tidak disukainya hari ini. 

Masalah tagihan, kondisi perusahaan, atau tentang si bungsu Ellis yang lagi-lagi terserang demam. 

Segalanya akan terjadi mengikuti takdir yang ditentukan. Demikian tuan Pieter membujuk sambil menghapus air mata istrinya.

Wanita itu kemudian menangis.

"Kau bahkan memahami permasalahan dalam kepalaku," gumamnya. 

***

Hujan di luar belum juga berhenti. Daun-daun terlihat semakin kedinginan dan angin masih mempermainkannya.

Nyonya Almaide beranjak dari tempatnya, lalu duduk di sisi tempat tidur dengan perasaan lesu. Tenaganya seperti terkuras dalam perang batin yang belum selesai.

Matanya menatap foto tuan Pieter yang diletakkan di atas meja. Wajah lelaki dengan sedikit senyum dan mata yang teduh.

Wanita itu sekarang menyadari bahwa suaminya adalah kekuatannya untuk bertahan selama ini.

Tuan Pieter selalu mengusap rambutnya saat mulai mengatakan kesedihan demi kesedihan. Suaminya selalu bisa membuatnya lebih baik. 

Nyonya Almaide perlahan merebahkan dirinya di atas tempat tidurnya. Dipejamkannya matanya yang masih sembab. Ditariknya napas dalam-dalam saat wewangian itu kembali terlintas. Apakah ini pertanda dari mendiang suaminya? 

Hujan di luar membuat dia mulai merasa kedinginan. 

Wewangian itu seolah silih berganti diembuskan angin. Dia merasa tergoda dan dulu dia sulit sekali merasakannya.

Diamatinya bantal putih milik suaminya. Disentuhnya penuh kerinduan dan cinta. Sesuatu yang lama hilang dari wanita itu.

"Kau satu-satunya orang baik di rumah ini," gumamnya. "Itu sebabnya Tuhan cepat memanggilmu kembali...."

***

Kota Kayu, 3 Mei 2023

(Terinspirasi dari lagu Zara zara Behekta hai, Mehekta hai)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun