Kepergian ayah tercinta, mungkin sangat berpengaruh pada kehidupan Mels, putriku satu-satunya. Sementara kesehatanku terus menurun, Mels memutar otak untuk menghidupi kami berdua.
Dialah putriku satu-satunya yang amat kubanggakan. Usianya menginjak lima belas tahun, dan suamiku meninggalkan kami bulan lalu karena sebuah kecelakaan.
Sebagai buruh pabrik, suamiku memang tidak bisa memanjakan kami di luar batas kemampuannya. Namun semua amat kusyukuri karena dia suami yang penyayang dan hangat dalam keluarga.
Semasa kedua kakiku sehat dan Mels masih kanak-kanak, suamiku selalu menemani membeli apapun yang kami butuhkan, bahkan perabot yang tidak begitu penting namun aku menyukainya.
Salah satunya adalah kain-kain korden yang saking banyaknya, akhirnya menjadi tumpukan dalam lemari.Â
Sebagai seorang istri, aku sudah merasa sangat senang, waktu itu.Â
Saat Mels tidur siang dan pekerjaan di dapur sudah kuselesaikan, biasanya aku akan bersenang-senang dengan kain korden yang baru kubeli. Dengan gunting dan mesin jahit kuno peninggalan nenek, aku lalu menyulap kain bermotif bunga-bunga ercis dan lainnya menjadi penghias jendela-jendela kami.
Aku bisa ingat semua itu. Aku memilih bermacam motif kain, sampai jumlah semuanya bisa digunakan sesuai mood tertentu setiap bulannya.
Sebagai contoh, di bulan Januari aku memasang korden dengan corak bunga Carnation (anyelir) yang kelopaknya berlapis-lapis. Amat feminin dengan warna-warnanya yang lembut dan beraneka.
Lalu untuk bulan Februari, aku memasang korden dengan gambar bunga Iris ungu yang melambangkan kesetiaan dan kebijaksanaan. Tentu saja itu bermakna cinta.
Untuk bulan Maret, aku sudah punya motif bunga Daffodil (narcis) yang dimaknai dengan 'lahir kembali'. Ya, warna kuning terangnya seakan memberi semangat baru dan keberuntungan.
Sampai di bulan ke dua belas, atau aku ingin mengganti dengan gambar bunga apapun karena aku menyukai kelucuannya.
Suamiku yang baik itu, juga tak pernah melarang keinginanku untuk memiliki gerabah pengisi meja dan rak kecil di rumah kami. Berbagai macam handuk teh, cawan antik, serta chandelier yang amat klasik.
Setelah kupikir-pikir, mungkin ini adalah sebagian alasan mengapa aku menangisi kepergian suamiku yang terasa begitu cepat. Dia bukan saja meninggalkan kesan manis untukku, tetapi mungkin juga bagi Mels.
Putriku itu terlihat berubah dari pembawaannya yang ceria di waktu sebelumnya, menjadi sedikit pendiam dan tampak dewasa setelah kepergian ayahnya.
Dia tidak lagi manja dengan memintaku menjahit kancing bajunya yang terlepas; atau bertanya apakah dia kelihatan cantik sebelum pergi menemui teman-temannya di luar.
Beberapa kali Mels menunjukkan kepeduliannya dengan mendorong kursi rodaku sekedar berjalan-jalan di halaman, atau membantu ke toilet saat aku menginginkan.Â
Mungkin dia menyadari ayahnya sudah tidak dapat melakukannya dan aku tidak dapat menolong diriku sendiri.
Aku keheranan ketika pada suatu hari dua orang lelaki asing datang untuk meminta izin kepadaku. Mereka mengatakan telah mendapat penawaran dari Mels tentang rumah ini.Â
Fotografer rustic dan seorang asistennya itu akan datang dua hari lagi untuk mengambil gambar ruangan-ruangan di rumah kami untuk suatu bisnis.
"Ibu, kita akan menerima kompensasi sejumlah ini. Bukankah ini harga yang cukup?" tutur Mels penuh harap.
Aku memperhatikan amplop coklat yang diserahkan putriku, lalu mulai menghitung lembaran di dalamnya.Â
Aku memandang Mels dengan seribu pertanyaan yang membeku dalam kepalaku. Tenggorokanku terasa begitu kering untuk membunyikan satu kata saja.
"Apakah kau akan menjual sesuatu dari rumah kita, Sayang?" tanyaku akhirnya.
Ada keharuan yang begitu rupa. Sebagai ibu aku tak percaya telah menghabiskan gaji suamiku di masa lalu, dan sekarang Mels membuatnya berguna.
 ***
Kota Kayu, 14 April 2023
Cerpen Ayra Amirah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H