Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Chandelier

7 April 2023   05:35 Diperbarui: 7 April 2023   05:40 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
LylouAnne Collection dari Pinterest

Ramadan yang muram telah berlangsung sejak tahun lalu. Belum terlalu lama karena suamiku meninggal di bulan kedua kelahiran putri kami satu-satunya, Kaila. Dan bulan ini dia harus berulang tahun tanpa ayahnya.

Kupikir Kaila mulai menyukai boneka yang kuletakkan dekat dia duduk, dan menyertainya di stroller saat dia masih bayi. Dia memegang boneka itu, dan mulai tersenyum saat memandangi wajah beruang yang imut.

Tapi aku ingin mencari hadiah yang lain, bukan boneka. 

"Oh, maafkan saya. Saya buru-buru ..." kata seorang pria yang baru saja hampir menabrak kami. 

Dia sudah pergi tetapi masih berusaha menatapku dan Kaila dari belakang punggungnya. 

Apakah dia merasa bersalah ataukah hanya merasa mengenaliku sebagai temannya saat sekolah? Ah, sudahlah.

Sudah beberapa lama mencari, namun hadiah ulang tahun untuk Kaila belum juga kutemukan. Karena bosan akhirnya aku keluar dan berjalan menuruni tangga. 

Menaiki lift mungkin akan membuat kami terjebak di dalamnya. Jika tiba-tiba lift mendapat masalah, Kaila bisa kehabisan oksigen dan tewas. Itu tidak boleh terjadi!

Di lantai satu, kerumunan orang memusat pada tulisan "diskon 70%" dan barang-barang di bawahnya. 

Aku ingat pernah berada dalam kerumunan seperti itu dan suamiku memilihkan satu benda dengan ukiran klasik. Chandelier, waktu itu aku tak menyukainya sama sekali.

Aku terus berjalan menuju pintu dan menyusuri arah ke kanan. Tepat di depan restoran lama yang dulu sering kukunjungi bersama almarhum suamiku, berkumpul penjaja makanan untuk orang-orang berbuka puasa sebentar lagi. 

Aku mendekati dan memilih beberapa.

Aku memang tidak berpuasa karena Kaila menyusu untuk pertumbuhannya. Tapi saat tiba di rumah aku ingin duduk santai menikmati kue manis yang tidak bisa kunikmati tahun lalu.

Ternyata Ramadan tahun lalu adalah yang terakhir untuk kami lalui. Suamiku bahkan hanya menjalaninya beberapa hari sebelum tewas dalam kecelakaan.

Aku banyak mengurung diri dan mungkin sedikit mengabaikan putri kami. Rasanya sangat tidak adil karena kami baru saja berhasil mempunyai bayi cantik setelah menunggu sekian lama.

Ibu mertuaku menempuh penerbangan tiga jam untuk menghadiri pemakaman suamiku, serta tinggal bersama kami untuk merawat Kaila. Sulit dibayangkan bila saat itu beliau tidak ada, bagaimana nasib bayi kami.

Mungkin aku belum benar-benar pulih, tapi setidaknya sudah dua kali pergi ke pusat keramaian untuk mencari keperluan. 

Aku mencium kening Kaila yang tertidur pulas setelah kubawa hampir seharian ini. 

Aku turun dari atas tempat tidur dan berharap dia tidak menggamggu me time-ku sedikitnya sampai satu jam ke depan. 

Aku mulai menyalakan lilin yang tersisa seperti biasanya dan duduk memandanginya dari jauh. Entah mengapa setiap melakukannya aku seolah merasakan kehadiran suamiku. 

Dulu kami lebih suka menghabiskan waktu di kamar sepulang dia dari bekerja. Setelah mandi dan memakai minyak wangi, suamiku duduk menikmati tehnya sambil bertanya tentang keadaanku. Dia tidak ingin aku merasa bersalah karena belum memberinya seorang bayi. 

"Seorang anak adalah karunia yang besar, yang dititipkan kepada suami-istri yang dipilihNya. Kita harus bersabar dan berbesar hati..." begitu kalimat yang sering dia ucapkan.

Saat kami berbaring di bawah selimut dan suamiku sudah tertidur, aku masih memandangi cahaya lilin yang menyala temaram di dalam kamar. Pikiranku melayang-layang tak tentu arah, sampai akhirnya bisa terpejam dan dibuai mimpi.

Ibu mertuaku sudah pulang sejak bulan lalu dan berharap aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Tapi beberapa pekerjaan yang ditinggalkannya aku belum juga membereskan. 

Tumpukan handuk teh masih tergeletak di kursi yang biasa diduduki almarhum suamiku saat melanjutkan pekerjaannya. Juga pakaian bayi kami di dalam keranjang, menunggu untuk dibawa ke mesin cuci.

Aku tidak boleh begini terus. 

Allah sudah memberikan orang-orang yang terbaik dalam hidupku. Aku harus menjaganya dengan baik, dan jangan terpuruk karena kesedihan.

***

Kota Kayu, 7 April 2023

Cerpen Ayra Amirah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun