Aku terus berjalan menuju pintu dan menyusuri arah ke kanan. Tepat di depan restoran lama yang dulu sering kukunjungi bersama almarhum suamiku, berkumpul penjaja makanan untuk orang-orang berbuka puasa sebentar lagi.Â
Aku mendekati dan memilih beberapa.
Aku memang tidak berpuasa karena Kaila menyusu untuk pertumbuhannya. Tapi saat tiba di rumah aku ingin duduk santai menikmati kue manis yang tidak bisa kunikmati tahun lalu.
Ternyata Ramadan tahun lalu adalah yang terakhir untuk kami lalui. Suamiku bahkan hanya menjalaninya beberapa hari sebelum tewas dalam kecelakaan.
Aku banyak mengurung diri dan mungkin sedikit mengabaikan putri kami. Rasanya sangat tidak adil karena kami baru saja berhasil mempunyai bayi cantik setelah menunggu sekian lama.
Ibu mertuaku menempuh penerbangan tiga jam untuk menghadiri pemakaman suamiku, serta tinggal bersama kami untuk merawat Kaila. Sulit dibayangkan bila saat itu beliau tidak ada, bagaimana nasib bayi kami.
Mungkin aku belum benar-benar pulih, tapi setidaknya sudah dua kali pergi ke pusat keramaian untuk mencari keperluan.Â
Aku mencium kening Kaila yang tertidur pulas setelah kubawa hampir seharian ini.Â
Aku turun dari atas tempat tidur dan berharap dia tidak menggamggu me time-ku sedikitnya sampai satu jam ke depan.Â
Aku mulai menyalakan lilin yang tersisa seperti biasanya dan duduk memandanginya dari jauh. Entah mengapa setiap melakukannya aku seolah merasakan kehadiran suamiku.Â
Dulu kami lebih suka menghabiskan waktu di kamar sepulang dia dari bekerja. Setelah mandi dan memakai minyak wangi, suamiku duduk menikmati tehnya sambil bertanya tentang keadaanku. Dia tidak ingin aku merasa bersalah karena belum memberinya seorang bayi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!